-Ayana-
Setelah shalat maghrib di masjid terdekat, kami pun tiba di sebuah tempat yang sudah pernah aku kunjungi beberapa kali setelah kepulanganku ke Indonesia. Berdiri dengan membawa sebuket bunga mawar putih, aku menghembuskan napas pelan saat membaca tulisan yang tertera di dinding paling depan dari bangunan itu. Rumah Sakit Jiwa Graha Kencana, tempat di mana ibuku dirawat selama ini.
"Kita masuk sekarang?" Suara Kak Mike menarik kesadaranku. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya di bahuku, menyalurkan kekuatan agar aku sanggup menemui orang yang ada di dalam sana.
Mengangguk pelan, kami mulai menggerakkan kaki menuju lobi utama rumah sakit. Sebelum melanjutkan langkah ke kamar Bunda, aku memberitahukan tujuanku ke salah satu karyawan. Izin pun keluar, aku dan Kak Mike akhirnya masuk ke bagian ruang tidur pasien tenang. Selepas melewati beberapa kamar, aku berhenti di depan pintu ruangan paling ujung.
"Ini kamarnya Tante Sarah?" tanya lelaki di sampingku yang aku respons dengan anggukan.
Bergeming di tempat, pandanganku terarah lurus menembus kaca jendela kamar itu. Di sana, tampak Bunda sedang duduk di sebuah kursi goyang dan ditemani oleh seorang perawat yang tengah menyuapi makanan.
"Apa kita boleh masuk?" Lagi-lagi pertanyaan lelaki itu aku jawab dengan anggukan kepala.
"Kakak aja yang masuk. Aku tunggu di luar."
Kalimatku tak pelak membuat Kak Mike mengernyit heran. "Kenapa?"
"Bunda nggak mau ketemu sama aku." Mendesah berat, aku mengeluarkan rasa sesak yang menghimpit dada. "Aku pernah sekali nemuin Bunda. Beliau langsung ngamuk pas liat aku dateng. Kemungkinan besar karena mukaku mirip banget sama Ayah," lanjutku. Mataku tanpa sadar memanas. "Habis kejadian itu, aku nggak berani lagi nemuin Bunda langsung. Tiap ke sini, aku cuma bisa liat beliau dari jauh."
Tak terasa, kerlip yang sejak tadi kubendung akhirnya mengalir. Sedetik kemudian, aku merasakan jari Kak Mike membelai lembut kedua pipiku yang basah. Dia lantas menangkup daguku dan menariknya ke atas hingga mata kami saling bersitatap.
"InsyaAllah, Tante Sarah bakal sembuh dan nerima kamu lagi," ujar Kak Mike, menenangkanku. Aku mengangguk menanggapi ucapannya. Dia lalu mengambil buket bunga yang aku bawa. "Ya udah kalo gitu, kamu di sini aja. Biar aku yang masuk." Lagi-lagi kepalaku terangguk.
Kak Mike melepas rangkulannya dari bahuku, kemudian mengetuk pintu di depan kami. Tak butuh waktu lama sampai benda itu terbuka, perawat yang tadi menyuapi ibuku muncul di ambang pintu dan tersenyum ramah saat melihat keberadaanku.
"Assalamu'alaikum, Sus," sapaku seraya mengulas senyum.
"Wa'alaikumsalam. Mau jenguk Ibu?" tanya perawat yang sudah kukenal dengan baik. Namanya Suster Mala.
Aku menggeleng. "Bukan saya, tapi calon suami saya yang mau jenguk Bunda."
"Mbak udah punya calon? Saya pikir belum ada," ujarnya dengan muka terkejut. "Yah, sayang banget, padahal Dokter Ihsan pernah bilang ke saya kalo dia suka sama Mbak Ira."
Kak Mike berdehem keras. "Maaf, apa saya boleh ketemu sama Tante Sarah sekarang?"
Mendengar kalimat lelaki di sampingku, kedua sudut bibirku tak ayal terangkat tipis. Dia pasti sengaja mengalihkan topik pembicaraan karena tak suka saat mengetahui ada lelaki lain yang menyukaiku.
"Boleh. Tapi sebentar ya, Mas! Saya gantiin baju beliau dulu. Tadi kotor kena makanan."
Waktu pintu dan jendela di hadapan kami sudah tertutup rapat, serta-merta Kak Mike menoleh padaku. "Siapa Dokter Ihsan?" tanyanya, menuntut jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cinta Namira
SpiritualAku memutuskan meninggalkan lelaki yang aku cintai beberapa tahun yang lalu demi Allah. Sampai saat ini penampilanku memang belum sesempurna teman-temanku yang selalu mengenakan gamis dan hijab besar. Tapi aku akan terus berusaha memantaskan diri su...