Chapter 17

55 3 1
                                    

-Namira-

Aku senang melihat perubahan besar yang terjadi pada Kak Mike dalam satu bulan ini. Sepertinya dia benar-benar serius memperdalam ilmu agama. Buktinya, sekarang dia rutin menunaikan shalat lima waktu dan mau ikut pengajian denganku. Selain itu, dia juga belajar membaca Al-Qur'an. Perlahan tapi pasti, Kak Mike kini mulai menghafal surat-surat yang ada di dalam Juz 'Amma.

Aku tahu progres belajarnya karena dia selalu mengingatkan dan mengajakku untuk shalat di masjid Genandra Building ketika adzan telah berkumandang. Tak cuma itu, dia juga selalu setor hafalan surat padaku waktu dia main ke ruang kerjaku atau saat aku ke kantor lelaki itu yang ada di dalam klinik miliknya, De Amore Dermatology and Plastic Surgery Clinic.

Ya, beberapa hari setelah kepulanganku dari Lombok, Kak Mike mengajakku ke kliniknya dan memperkenalkanku ke semua karyawan sebagai calon istri, yang tak ayal membuatku malu sekaligus bahagia. Kabar itu pun akhirnya tersebar ke seluruh kantor yang ada di Genandra Building. Reaksi para karyawan tentu saja berbeda-beda. Aku tahu tidak semua orang akan senang mendengarnya, terutama para staf perempuan yang menyukai Kak Mike. Mereka diam-diam mencemoohku. Beberapa kali aku sempat merasa sedih karena sikap mereka, tapi Kak Mike selalu ada untukku dengan kata-katanya yang menenangkan.

"Jangan dengerin omongan orang lain!" ujar Kak Mike setelah aku memberitahu sesuatu yang mengganjal di hatiku selama beberapa hari. "Mereka cuma iri karena kamu bisa dapetin aku, sedangkan mereka nggak bisa."

Di lain waktu, dia juga pernah bilang, "Mau sebanyak apa pun perempuan yang berusaha deketin aku, mereka nggak bakal bisa ngerebut aku dari kamu. Hati aku udah jadi milik kamu semua. Jadi kamu nggak perlu khawatir."

Aku percaya kata-kata Kak Mike. Aku yakin lelaki itu tidak akan pernah dengan sengaja menyakitiku. Hubungan kami yang dulu terjalin selama dua tahun sudah cukup jadi bukti bahwa dia memang setia padaku.

Kini setelah berjalan sebulan, tepatnya setelah melihat sikapnya terhadapku dan perubahan dirinya dalam hal agama, aku semakin mantap untuk menyerahkan lagi seluruh hatiku padanya.

"Ira?"

Saat ini aku sedang berkutat dengan deretan buku yang terpajang di salah satu rak toko buku dan alat tulis ketika sebuah suara terdengar dari arah samping. Serentak aku mengangkat kepala dan menemukan seorang lelaki berpostur tinggi, meski tidak setinggi Kak Mike, berdiri beberapa senti dari tempatku berdiri.

"Ya?" responsku, singkat. Dahiku mengernyit dalam.

"Kamu bener Namira, kan?" tanyanya, ragu-ragu.

"Ya, saya Namira." Aku mengangguk.

"Alhamdulillah." Lelaki itu menghela napas lega.

"Maaf, Mas siapa, ya?"

"Ra, ini aku, Faqih. Inget nggak?"

"Faqih...?" Mataku menerawang ke atas, mencoba mengingat-ingat sosok lelaki bernama Faqih yang ada di depanku ini.

"Iya. Coba deh diinget-inget lagi!"

Saat bayangan masa kecil terbesit di kepala, mataku terbelalak dalam sekejap. "Faqih?! Yang dulu rumahnya seberangan sama rumahku?!"

Sembari tersenyum puas, kepala lelaki itu manggut-manggut antusias. "Iya. Ini aku, Ra," katanya. "Aku udah balik ke Jakarta."

"Kamu gimana kabarnya? Sekarang tinggal di mana? Om dan Tante sehat?" tanyaku, tak kalah heboh. Aku senang akhirnya bisa ketemu dengan teman masa kecilku lagi.

"Alhamdulillah, aku dan orangtuaku sehat. Sekarang kami tinggal di Gardena Residence. Tau kan tempatnya?"

"Iya, tau," anggukku.

Setulus Cinta NamiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang