-Namira-
Setelah membaca sebuah chat yang masuk ke ponselku beberapa menit yang lalu, aku bergegas ganti baju, mengenakan hijab, dan membawa tabletku, sebelum kemudian mengambil langkah cepat ke arah lift yang akan mengantarkan aku ke lantai apartemen paling bawah. Sampai di tempat tujuan, aku memindai ruangan. Ada cukup banyak orang di sini, tapi aku bisa dengan cepat mengenali si pengirim chat dari postur badannya.
Kugerakkan kaki menuju seorang lelaki dengan topi abu-abu di kepala dan kaca hitam yang tergantung di baju. Meski tak bisa melihatnya dengan jelas karena dia menunduk sambil memainkan ponsel, aku yakin itu pasti Kak Mike.
Dan benar saja. Setelah aku memanggil namanya, Kak Mike mendongak menatapku. Selepas dia berdiri untuk memeriksa kondisi badanku, kami pun duduk berhadapan. Tak lama berselang, pesanan kami datang. Secangkir caramel latte panas dan sepotong strawberry cheese cake yang dipesankan Kak Mike untukku sangat cocok dinikmati di malam yang dingin ini. Diam-diam aku tersenyum menyadari lelaki tersebut masih mengingat salah satu makanan dan minuman kesukaanku.
Ketika mengetahui Kak Mike cuma pesan satu makanan, spontan tangan kananku mengambil garpu kecil yang diletakkan pelayan di samping kue dan memotong salah satu sisinya. Kutusuk irisan itu dan kusodorkan ke Kak Mike buat dia makan.
Ini kebiasaanku dulu saat kami masih bersama. Aku selalu menyuruhnya jadi orang pertama yang makan makananku. Baru sesudah itu, aku akan memakannya. Bagiku, ini adalah salah satu cara sopan untuk menghargai orang yang lebih tua. Bedanya, orang lain mungkin akan mengambil sendiri, sedangkan Kak Mike hanya bersedia makan lebih dulu kalau aku suapi. Aku tahu itu modus. Tapi daripada berdebat, lebih baik aku mengiyakan permintaannya.
Makanya sekarang aku pun menyuapinya agar dia mau makan duluan. Setelah itu, baru aku akan bisa makan dengan tenang.
"Kakak ke sini mau bahas soal desain, kan?" tanyaku setelah menelan potongan kue keempat.
"Aku punya tiga tujuan. Yang pertama, buat bahas desain. Yang kedua, buat jelasin masalah kita. Aku nggak mau kesalahpahaman ini terus berlarut-larut. Dan yang terakhir, buat ngasih tau jawaban soal mahram," jawabnya. "Tapi mending kita bahas desain dulu. Habis itu aku mau ngajak kamu ke tempat di mana kita bisa leluasa bicara empat mata."
Sejenak aku diam dan berpikir, kemudian mengangguk mengiyakan ucapannya. Jujur, sebenarnya aku ingin sekali menolak karena takut mendengar fakta yang mungkin akan membuat hatiku sakit. Tapi egois rasanya kalau aku tidak memberi Kak Mike kesempatan untuk menerangkan semuanya.
Akhirnya aku dan Kak Mike mendiskusikan desain yang dia inginkan. Kugambar pola kasar di tabletku dan kuberi beberapa keterangan sesuai instruksinya. Satu jam berlalu, diskusi kami pun selesai. Aku mematikan tablet dan menggesernya ke samping.
"Kita pergi sekarang?" ucapnya dengan tatapan penuh harap.
"Ke mana?" tanyaku, ragu.
"Ntar kamu juga bakal tau," jawabnya. Tangannya menarik kacamata hitam dari kerah baju. "Nggak usah kuatir. Aku nggak akan bawa kamu ke tempat aneh-aneh."
Dengan mengucap bismillah dalam hati, aku mengangguk. Kami serempak bangkit berdiri dan angkat kaki dari tempat itu. Dalam perjalanan menuju parkiran, Kak Mike menyelipkan kacamata hitamnya.
Aku mengernyit heran ketika menyadari ada yang berbeda pada lelaki itu. Dari dulu Kak Mike memang suka mengenakan kacamata hitam karena dia punya banyak koleksi. Tapi dia memakai benda itu cuma di pagi atau siang hari saja, tidak pernah memakainya di malam hari seperti ini.
"Sejak kapan Kakak suka pake sun glasses malem-malem?" Aku melontarkan pertanyaan saat kami sudah berada di samping mobil mewah miliknya, kali ini berjenis off-road yang bentuknya besar dan gagah.
"Sejak ketemu kamu," jawabnya seraya membuka pintu penumpang bagian depan dan membantuku naik ke jok yang sangat tinggi. Sama seperti dulu, salah satu tangannya berada di atas kepalaku, memastikan aku tidak terbentur pinggiran pintu mobil bagian atas.
"Bohong!" Aku melayangkan tatapan tak percaya.
"Beneran." Dia balik menatapku dengan sebuah seringai menyebalkan. "Habisnya kamu tambah cantik, makanya aku pake kacamata item biar gak silau," selorohnya.
"Gombal!" gerutuku, dongkol karena godaannya barusan memicu jantungku berdetak tak keruan. Aku memalingkan muka ke depan, menyembunyikan panas dan merah yang merayap di wajah.
Lelaki itu tergelak. Salah satu tangannya terulur dan mengusap puncak kepalaku, membuat tubuhku tak ayal mematung di tempat. Aku yakin, Kak Mike pasti tidak sadar saat melakukannya karena itu salah satu kebiasaannya dulu. Kemudian lelaki itu menutup pintu di sampingku dan melangkah memutari badan mobil bagian depan lalu masuk ke kursi kemudi. Mesin menyala, kendaraan berbadan besar ini pun akhirnya keluar dari pelataran apartemen.
Perjalanan ke tempat itu kami tempuh dengan obrolan ringan. Suara Kak Mike lebih mendominasi suasana di antara kami. Sejujurnya itu membuatku sedikit lega karena aku sendiri tidak tahu harus bicara apa. Masih ada sedikit rasa canggung yang aku rasakan meski dulu kami pernah bersama.
Selang beberapa menit, mobil Kak Mike memelan dan berbelok masuk ke sebuah tempat yang sepertinya tak asing. Mengitari pemandangan yang mampu tertangkap mata, aku berdecak kagum dalam hati melihat tempat yang begitu cantik dan indah. Sebuah danau yang dikelilingi hutan kota sedikit demi sedikit tampak di kejauhan. Senyumku pun terbit waktu sadar di mana aku sekarang berada.
"Inget tempat ini?" Suara yang berasal dari sebelah memecah keterdiaman kami yang berlangsung sesaat. Aku menoleh ke pemilik suara dan mengangguk cepat. "Yok, keluar!"
Setelah mematikan mesin mobil, Kak Mike keluar lebih dulu. Sekali lagi, dia membantuku turun dari jok yang tingginya nggak kira-kira. Kami lantas berjalan berdampingan menuju danau yang jaraknya tidak jauh dari tempat mobil terparkir.
Tiba di pinggir danau, langkah kami berhenti. Aku menghirup dalam-dalam udara di sekitarku, menyalurkan rasa rinduku yang membuncah. Sudah lama sekali aku tidak bertandang ke sini. Pertama kali kakiku menginjak tempat ini adalah saat di mana Kak Mike mengajakku bolos sekolah. Saat itu aku memang sedang tidak semangat buat belajar karena sebelumnya aku mendengar Ayah dan Bunda bertengkar untuk kesekian kalinya. Sejak saat itu, Kak Mike selalu mengajakku ke sini tiap melihatku sedih dan murung.
"Ra, mau duduk di sana?" ajak Kak Mike.
Aku menoleh ke arah di mana jari telunjuknya tertuju. Itu bangku panjang yang dulu jadi tempat duduk favorit kami. Aku pun tersenyum dan mengangguk setuju.
Menjatuhkan badan di atas kursi kayu tersebut, aku memandang hamparan air danau yang berderak agak cepat karena angin malam yang tiba-tiba berhembus kencang. Kedinginan, kupeluk diriku sendiri dengan kedua tangan. Detik kemudian, kurasakan sesuatu yang hangat menyelubungi tubuhku.
"Pake ini!" perintah Kak Mike sambil memakaikan jaket miliknya. Sementara aku cuma bisa terdiam membiarkannya memasukkan kedua tanganku ke lengan jaket kulit tersebut, kemudian dia menarik resleting sampai ujung teratas.
"Udah nggak dingin lagi, kan?" tanyanya.
"Iya. Tapi sekarang Kakak yang kedinginan." Aku memperhatikan tubuhnya yang hanya terbalut selapis kaus hitam.
"Nggak kok," elaknya. "Tenang aja. Kulit laki-laki lebih tebel dari kulit perempuan, jadi udara kayak gini nggak akan bikin aku kedinginan."
Aku mengangguk paham. "Makasih, Kak."
"Sama-sama," ucapnya. Bola mata hazelnya mengunci pandanganku, membuatku tak mampu berpaling ke arah lain. "Sekarang... boleh aku jelasin semuanya sama kamu masalah yang bikin kesalahpahaman di antara kita?"
Melihat tatapan Kak Mike yang sarat akan permintaan dan permohonan, kepalaku pun menggangguk dengan sendirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cinta Namira
SpiritüelAku memutuskan meninggalkan lelaki yang aku cintai beberapa tahun yang lalu demi Allah. Sampai saat ini penampilanku memang belum sesempurna teman-temanku yang selalu mengenakan gamis dan hijab besar. Tapi aku akan terus berusaha memantaskan diri su...