-Michael-
"Rara!" Terkejut, aku langsung menangkap tubuh Namira yang tiba-tiba lemas. "Rara!" Aku mengguncang-guncangnya pelan. "Sayang, bangun! Please, jangan bikin aku takut! Sayang!"
Dalam kepanikan, aku segera mengangkat gadisku dan membawanya keluar dari ruangan. Untunglah kantor Dimas sudah sepi, jadi aku tidak perlu mendapat tatapan-tatapan penasaran dari para karyawan.
Sekeluarnya dari Genandra Building, aku bergegas menuju ke area parkir. Kuturunkan Namira sebentar, dengan tetap menyangganya supaya tidak jatuh, dan kuambil kunci mobil yang tersimpan di salah satu saku celana bagian depan. Setelah pintu mobil terbuka, kuangkat lagi tubuh gadis itu dan kutaruh pelan-pelan di atas kursi penumpang yang ada di sebelah kursi kemudi. Buru-buru aku masuk ke dalam kendaraan berbadan besar itu dan melajukannya keluar dari sana.
Karena tidak tahu di mana tempat tinggal Namira, akhirnya aku membawanya ke apartemenku. Bersyukur Kinara sekarang sedang pergi liburan keliling Eropa bersama teman-teman satu gengnya, jadi bisa dipastikan dia akan pulang dalam satu atau dua bulan lagi. Untuk sementara waktu, aku bisa bebas dari perempuan itu dan fokus mendekati gadis tercintaku. Masalah gimana reaksi Kinara mengenai kedekatan kami, akan kuurus nanti. Yang penting aku bisa mendapatkan Namira lagi. Lagipula aku juga tidak pernah benar-benar mencintai perempuan itu, jadi kemungkinan besar aku akan memutuskannya.
Masuk ke kamar tamu, aku meletakkan Namira dengan hati-hati di atas tempat tidur. Kenapa tidak di kamarku sendiri? Oh, tidak. Aku tentu saja tidak akan menempatkannya di kamar yang pernah aku gunakan untuk berbagi kehangatan bersama Kinara. Sebejat-bejatnya diriku, sedikit banyak aku tahu tentang ajaran agama Islam. Melakukan hubungan seksual sebelum resmi menikah itu haram dan dibenci Tuhan, jadi aku tidak akan membawa gadis sesuci Namira ke kamar laknat tersebut. Dia terlalu berharga untuk berada di tempat sekotor itu.
Duduk di sampingnya, aku mencoba mengecek dahi Namira. Mataku kontan membulat saat mengetahui suhu badannya cukup panas. Buru-buru kuambil baskom dan kuisi dengan air hangat. Tidak lupa handuk kecil buat mengompres. Sebagai dokter, aku berusaha merawat Namira sebaik-baiknya. Terlebih dia adalah gadis yang paling aku cintai, jadi aku harus memastikan dirinya mendapat perawatan terbaik biar cepat sembuh.
Keluar dari kamar tamu, aku mengambil ponsel dan mencari nomer Michelle, adik perempuanku. Kemudian aku menekan tombol bergambar gagang telepon dan menempelkan benda itu di telinga kiri, menunggu dia mengangkatnya.
Waktu mendengar sapaan dari seberang, aku pun menyahut. "Chelle, bisa ke apart Abang sekarang?"
"Kok malem-malem gini? Kenapa? Abang nggak pa-pa, kan? Baik-baik aja, kan?" berondongnya dengan nada khawatir.
"Abang nggak kenapa-napa," jawabku, menenangkan. "Abang mau minta tolong, bawain satu setel piyama tidur dan satu setel baju kamu. Dua-duanya lengan panjang, ya! Jangan lupa bawa kerudung instan juga! Dua."
"Lho, kok? Ada apa sih, Bang? Jangan bikin Michelle penasaran deh!"
"Udah, kamu ke sini aja dulu! Ntar juga bakal tau sendiri."
"Abang bawa perempuan ke apart lagi, ya?" selidiknya.
"Udah deh, nggak usah banyak tanya!" sentakku, kesal. "Yang penting kamu ke apart Abang dulu! Jangan lupa bawa sopir! Udah malem. Jangan nyetir sendiri!"
"Iya, ini Michelle udah mau otewe ke sana sama Pak Budi. Tapi Abang jangan macem-macem, ya?! Inget! Abang tuh punya adek perempuan. Emangnya Abang mau Michelle diapa-apain sama laki-laki yang belum sah jadi suami Michelle?"
"Ya enggaklah, gila! Awas aja kalo si Luke sampe ngapa-ngapain kamu! Abang akan jadi orang pertama yang bunuh dia," geramku sambil membayangkan muka Lucas yang babak belur.
Lelaki keturunan Inggris yang sering dipanggil Luke itu adalah pacar adikku. Sejauh ini, dia lelaki paling baik dan sopan yang Michelle kenalkan padaku dan orangtua kami. Semoga dia sungguh-sungguh bisa menjaga adikku. Menjaga dalam arti bisa menjaga kesuciannya juga. Karena kalau sampai Lucas berani merusak adik kesayanganku, akan aku pastikan lelaki itu menderita.
"Abang tega, ih!" omelnya. "Luke baik, Bang. Alhamdulillah, dia nggak pernah macem-macem. Dia bener-bener jagain Michelle."
Syukurlah kalau begitu.
Beberapa menit berlalu, orang yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku membuka pintu apartemen dan menyuruhnya masuk.
"Bawa yang Abang minta, kan?" todongku ke Michelle begitu pintu tertutup rapat.
"Bawa," jawabnya sembari mengangsurkan tas jinjing kecil berwarna pink. "Nih." Aku menerima tas itu dan mengeluarkan semua isinya. "Buat apa sih, Bang?"
"Chelle, Abang minta bantuan lagi, ya?" pintaku, tanpa merespons pertanyaannya.
"Apa?"
"Sini, ikut Abang!"
Aku balik badan dan berjalan lebih dulu. Michelle mengikutiku di belakang. Sampai di depan kamar tamu, aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku berhenti di samping ranjang, diikuti adikku sesaat kemudian.
Melihat keberadaan Namira di sini, Michelle tak ayal melotot. "Ini... siapa, Bang?" tanyanya tanpa menoleh padaku.
"Rara," jawabku seraya memandang lembut wajah cantiknya yang memucat.
Mendengar nama panggilanku untuk gadis itu, sontak Michelle mendongak menatapku tak percaya. "Dia... Rara?!"
"Ya."
"Dia... beneran Namira? Mantan pacar Abang yang dulu pernah Abang ceritain ke Michelle?"
"Ya."
Aku bisa maklum dengan reaksi Michelle yang tidak yakin padaku. Ini memang baru pertama kali dia ketemu dan melihat langsung sosok Namira yang dulu sering aku ceritakan padanya sebagai satu-satunya gadis sekaligus mantan pacar yang paling aku cintai. Ini karena orangtua kami sudah lama berpisah. Aku ikut Mama pulang ke Indonesia, sedangkan dia ikut Papa menetap di Rusia karena beliau memang asli warga negara sana. Tapi untungnya, tiap tahun kami bisa sesekali ketemu, entah aku yang ke Rusia atau Michelle yang datang ke Indonesia. Beranjak dewasa, Michelle memutuskan untuk meneruskan kuliah di sini agar bisa berkumpul denganku dan Mama.
Penyebab utama kenapa adikku pindah ke sini adalah karena papa kami sudah menikah lagi dan dia tidak suka dengan ibu tiri kami yang kebetulan sudah punya anak balita dari suami pertamanya. Sebenarnya Michelle sayang ke adik tiri kami, tapi dia tidak suka dengan perempuan itu yang selalu memarahinya kalau mendadak anak kandungnya menangis tanpa sebab. Itu salah satu hal yang paling membuat Michelle tidak suka dengan beliau. Tapi hal lain yang akhirnya membuat adikku benci setengah mati pada ibu tiri kami yaitu karena Papa selalu membela istri keduanya yang jelas-jelas licik dan jahat.
Lalu bagaimana dengan Mama?
Mama juga sudah menikah lagi beberapa tahun setelah kepindahan kami ke negara ini. Lagi-lagi beliau menikah dengan orang asing. Tapi kali ini suaminya bukan orang Rusia, melainkan orang asli Australia dengan nama belakang Jeffcott. Entah bagaimana caranya nama belakangku yang tadinya Abrahamovich, nama belakang papa kandungku, akhirnya berubah menjadi Jeffcott, nama belakang papa sambungku. Berbeda dengan diriku, Michelle masih menggunakan nama belakang papa kandung kami karena dia ikut beliau sampai lulus SMA.
"Chelle, tolong gantiin baju Rara, ya?! Kasian ntar kalo dia pake setelan kantor semaleman. Sesek. Gak leluasa buat gerak dan napas," perintahku seraya meletakkan pakaiannya di atas tempat tidur.
"Oke."
"Abang tinggal, ya?!" Aku menepuk-nepuk bahu adikku. "Maaf udah ngerepotin malem-malem. Dan makasih buat bantuannya."
Michelle menepis tanganku. "Apaan, sih?" decaknya. "Biasa aja kali, Bang. Kayak minta tolong sama siapa aja."
Aku terkekeh. "Oke. Abang keluar dulu."
"Bang, tunggu! Beliin Michelle pizza, ya?! Laper banget, nih. Michelle belum makan. Tadi di rumah padahal baru aja mau makan, udah disuruh ke sini aja."
Aku tergelak mendengar dumelannya. "Siap, Tuan Putri."
Memutar badan, kulenggangkan kaki meninggalkan adikku yang bersiap-siap menggantikan pakaian Namira.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cinta Namira
EspiritualAku memutuskan meninggalkan lelaki yang aku cintai beberapa tahun yang lalu demi Allah. Sampai saat ini penampilanku memang belum sesempurna teman-temanku yang selalu mengenakan gamis dan hijab besar. Tapi aku akan terus berusaha memantaskan diri su...