Prolog

214 54 16
                                    

Tayangan berita tentang seorang gadis remaja yang kini masih hangat diperbincangkan, vidio syur milik dia itu terekam dan sudah tersebar luas di seluruh media sosial.

Acha, masih memegang erat remote televisi di rumahnya. Memandang tidak terima, ketika sahabat kecilnya itu kini menjadi bahan omongan, bahan olok-olok masyarakat.

Kata bunuh diri yang terpampang jelas disana, membuat mata Acha semakin penuh amarah. Melempar remote tersebut tepat ke arah televisi.

"BERISIK!"

Televisi pecah dibuatnya, gadis itu mengacak rambutnya frustasi. Menghela nafas panjang dan memikirkan tentang kejadian beberapa hari lalu. Dimana dia menemukan sesosok perempuan yang sudah tidak bernyawa.

"Gue gak akan biarin pelaku itu berkeliaran gitu aja,"

Menatap layar ponselnya, sebuah foto berisi kedua orang yang sedang tersenyum satu sama lain. Rasanya baru saja mereka berdua bertemu, melakukan aktivitas yang menyenangkan.

Notifikasi pesan muncul, membaca perlahan dan senyum Acha kembali terukir. Perasaannya kembali senang ketika mengetahui bahwa dirinya lolos seleksi untuk memasuki sekolah baru.

"Sastra Indonesia School."

"Acha?"

"Ah, apaan?"

"Hari ini kamu bakal pindah yah? Semangat disekolah barunya nanti ya,"

"Iya. Makasih,"

"Kamu serius mau masuk ke sekolah itu? Kamu sendiri tau kan kal—"

"Aku tau temen aku mati gara-gara sekolah itu, tapi aku ke sana bukan buat cari bukti atau apapun. Acha pengen lebih banyak rasain kenangan yang tersisa dia selama di Jakarta,"

"Kenapa kamu gak mau tetep ada di Bali aja Cha? Kamu kan bisa ke sana setiap hari libur,"

"Acha tetep mau pindah ke sana, lagian Papa juga setuju hal itu. Dan dia juga ada proyek besar di Jakarta,"

"Kenapa kamu keras kepala Cha."

"Kamu kenapa selalu cegah aku pergi sih? Apa ada yang kamu sembunyiin?"

"Gue belum bisa cerita."

"Hello? Masih disana?"

"Sorry, aku cuman gak mau kalo kita ldr,"

"Acha itu cinta banget... Sama kamu, kita bisa ldr-an. Bisa saling ketemu juga,"

"Tapi gak bisa sesering dulu, kalo itu emang keputusan kamu. Aku bisa apa." Pandangannya ia alihkan, menatap ke arah televisi yang kacanya telah pecah.

"Gue beneran gak yakin kalo kamu pindah karena hal itu doang Cha, kamu yang saat ini sembunyiin sesuatu."

"Maaf. Kalau harus bohong, gue gak mau orang lain tau apa yang bakal gue lakuin nantinya."

Acha hanya terus menatap lekat ke arah sang pujaan hati, ada rasa sedih karena harus meninggalkan pacarnya itu di kota ini. Tapi semua ini dia lakukan, hanya ingin mengetahui lebih detail. Alasan sahabatnya bunuh diri.

"Jika aku datang untuk menemukan kebenaran, bagaimana jika faktanya itu akan menyakitkan? Apa bisa kisah ini diulang, ketika tahu siapa pelaku yang sebenarnya."

Achavella

-To be continue-

Achavella's story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang