-D U A-

83 10 11
                                    

Seseorang dengan seragam putih-abunya sedang mengendap-endap ragu seraya mendekati sebuah pintu kamar milik Kakaknya. Tangan kanan yang mengepal terasa dingin saat ia hendak mengetuk pintu di hadapannya. Namun sebelum ia berhasil membuat suara ketukan terdengar nyaring, dirinya terlebih dahulu teringat dengan ucapan Bi Asri yang berkata jika pintu kamar Kakaknya tidak dikunci dan dirinya bisa masuk untuk membukakan gorden agar Kakaknya bisa terbangun.

Menuruti ucapan tersebut, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu kamar lalu berjalan semakin mendesak masuk. Sorot matanya sontak memperhatikan Kakaknya yang masih tertidur tenang pagi ini walaupun matahari sudah mulai muncul dan bersinar hangat.

"Kak!" sapanya serta membuka gorden jendela kamar ini.

Cahaya yang lemah menyoroti mata tertutup itu kian menguat sampai membuat tidur Braga terusik. Sejenak mata itu dikucek beberapa kali dan fokus penglihatannya kini mampu menangkap seorang penyusup yang sedang tersenyum hangat menyambut pagi harinya.

"Akhh! Lo ngapain di sini, anjir! Kayak jelangkung aja!"

"Kata Papa, Gavin berangkat sekolah bareng Kak Aga, ya?" ujar Gavindra dengan penuh percaya diri. Ia yakin Kakaknya tidak akan menolak kali ini.

"Arghh .... Hidup gue kenapa, sih!"

Tubuh yang masih ingin bersantai diatas kasur itu terdesak untuk bangkit. Braga mendumel pelan dengan sesekali melirik adiknya kesal. Rambutnya yang acak-acakan kini semakin tidak karuan saat Braga menjambaknya beberapa kali. Ia lantas bersaut dengan tatapan mata sinisnya, "tunggu di luar!"

Mendengar ucapan itu Gavindra bersorak dan cepat-cepat mengangguk, "siap!"

"Sialan! Hebat banget bikin gue kesiksa!"

Namun terlepas dari kesialan yang Braga rasakan, ada Gavindra masih tetap mempertahankan senyuman manisnya. Hatinya benar-benar menghangat pagi ini. Langkah kakinya ia bawa untuk keluar kamar dan menutup kembali pintu kamar Sang Kakak. Ia sekarang hanya perlu menunggu di dapur sambil menyantap sarapannya.

Sementara Braga yang masih pusing karena acara tidur nyenyaknya terganggu tanpa diduga pun akhirnya ia meraih handphone yang kebetulan berdering saat kakinya menapaki lantai. Sorot matanya berhasil menangkap ada banyak notifikasi dari teman seperjuangannya yang terus menelpon dan alarm yang belum ia matikan kembali berbunyi.

"Hehe ... Si Curut kayaknya kangen, makanya dia sampe ngespam!"

"Apa Bestie..." suara Braga menyapa, terdengar menjengkelkan namun Ditto diujung sana tetap menanggapinya dengan deheman.

"Lo di mana?" sahut Alvaro yang membuat Braga menjauhkan jarak handphonenya dari daun telinga. Biar Braga tebak, pasti kedua kacungnya sudah berada di kampus dan sedang mengopi pagi.

"Kenava? Gue baru bangun!"

"Anjir... Boss Muda ..." kali ini suara Ditto yang berceletuk tidak sedap dan Braga tidak ambil pusing dengan itu. Ia beralih mengambil handuk lalu memasuki kamar mandi.

"Eh iya, kenapa ya cewek-cewek manggil temennya sendiri Bestie? Gue aja jijik, mending manggil lo Curut! Itu lebih otentik!"

"Otentik-otentik! Cepet kesini! Kita ada presentasi jam 8, tet!"

Braga tersentak ketika mendengar suara Dion. Jika mereka bertiga sudah berkumpul, dapat dipastikan Braga akan kena hukuman setelah perkuliahan berakhir nanti siang.

"Waduh ... Makalahnya aja belum gue bikin, Dit? Ion, gimana dong?"

"Nah, kan? Gue pengen banget ngehujat lo di telepon. Tapi mending lo cepet kesini, biar nge-smackdown-nya gampang!" Alvaro menyahuti ucapan Braga. Dari suaranya Braga dapat menebak bahwa pemuda tinggi itu kini sedang berada di puncak emosi karenanya.

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang