BAB 60

221 20 7
                                    

Ø Mungkin ada beberapa typo

Ø Bahasa Baku dan Non-Baku

Ø EYD masih belum sempurna

Ø Cerita bertemakan LGBT/sesama jenis/boys love/boyXboy/gay/YAOI/MPREG

Ø Dewasa 21+

Ø Adegan seks eksplisit

Jika tidak suka dengan genre cerita yang saya buat, saya tidak memaksa untuk membaca.



Selamat Membaca dan Selamat Menikmati!



***





Suasana rumah sedikit gaduh dengan suara Widan yang merengek kepada Armas dan Linda. Sejak kemarin Widan terus merengek kepada orang tuanya ingin ikut mengantar Elvan dan Satya ke bandara juga. Namun tentu saja Armas dan Linda menolak dengan tegas karena mereka tidak ingin Widan membolos.

Elvan dan Satya pun menolak ketika Widan merengek kepada mereka untuk ikut mengantar mereka. Bahkan Elvan sampai menjanjikan akan membelikan semua komik kesukaan Widan asal pemuda itu tetap di rumah. Namun Widan tidak tergerak dan terus merengek.

"Ayah, Widan ikut, ya?" rengek Widan bergelayut di lengan Armas.

"Tidak! Kamu di rumah saja, jaga rumah." Armas menolak tegas. "Besok kan kamu masih harus sekolah."

Malam ini Armas dan Linda akan mengantar Elvan dan Satya pergi ke bandara.

Sebenarnya Elvan sudah melarang mertuanya itu untuk mengantar mereka karena jarak dari rumah mereka ke bandara sangat jauh. Namun Armas dan Linda bersikeras untuk mengantar mereka. Hingga tidak ada pilihan bagi Elvan selain mengiakan permintaan mertuanya.

"Kak Elvan, Widan ikut mengantarkan kalian, ya?" mohonnya dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf, Widan." Elvan menatap adik iparnya dengan tatapan tak berdaya.

"Lebih baik kamu di rumah saja, Wid," timpal Satya. "Bantuin ayah sama ibu bersihin rumah."

"Bang Sat!"

Satya tertawa pelan karena berhasil mengerjai adiknya. Karena tidak tega, Satya memeluk Widan.

"Di rumah aja, ya?" Satya mengelus punggung Widan. "Kamu harus belajar yang baik. Siapa tahu nanti kamu dapat beasiswa dan bisa kuliah di Inggris."

"Nanti saat liburan kelulusan, kalau kamu mau jalan-jalan ke London, kamu bisa hubungi kakak." Elvan mengusak kepala Widan.

"Benar apa yang dikatakan Kak Elvan, Wid." Satya menyetujui usulan suaminya. Ia benar-benar tidak kepikiran untuk mengusulkan hal itu kepada Widan.

Widan menyembunyikan wajahnya di leher Satya dan memeluk kakaknya itu dengan sangat erat. Sementara Satya hanya bisa tersenyum kecil. Selama ini, baru kali ini ia melihat adik kesayangannya ini mewek. Biasanya Widan suka sekali menjahili dirinya.

Setelah beberapa waktu berlalu, ternyata mereka berdua tidak bisa membujuk Widan. Akhirnya mereka berdua pun terpaksa membiarkan Widan ikut mengantar mereka ke bandara. Apalagi sebentar lagi mereka sudah harus berangkat.

Karena tidak ingin ngebut di perjalanan, mereka memutuskan berangkat pukul sembilan malam.

"Ayah, biar Elvan saja yang menyetir," ujar Elvan yang berdiri di samping Armas.

"Nggak usah, biar ayah aja. Nanti kamu kecapekan kalau menyetir."

Elvan tersenyum kecil. "Elvan bisa istirahat di pesawat kalau kecapekan, Yah. Justru nanti ayah yang kecapekan kalau ayah yang menyetir sekarang dan tidak bisa menyetir saat pulang nanti."

Belahan Jiwa [BL | MPREG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang