Dark Romance
Rate M
Cinta yang keliru selalu buta. Cinta selalu membuat gembira, tak kenal hukum, bersayap dan tak terbatas. Dan cinta mematahkan semua mata rantai logika, sehingga mungkin bagi Hinata Hyuuga, William Blake tak pernah salah menulisny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍁🍁🍁
Gadis bodoh itu sungguh meletakkan surat pengunduran diri di atas mejanya langsung, bukan melalui manajer pemasaran. Naruto berusaha untuk membuangnya ke tong sampah, tetapi dia malah kepikiran sesuatu yang lebih menarik untuk membuat gadis bodoh itu jera.
Naruto menggunakan telepon nirkabel di atas mejanya untuk minta disambungkan ke manajer pemasaran, yang kemudian disambungkan ke ruang pemasaran, dan nama Hinata Hyuuga menjadi topik paling menarik ketika CEO mereka memanggilnya langsung ke ruangan.
Bukan kali pertama orang-orang dipanggil pagi itu untuk membahas kinerja dan pencapaian mereka, tetapi tidak terpikirkan oleh mereka, bahwa karyawati biasa seperti Hinata akan ikut andil di dalamnya. Mereka pun berpikir bahwa bisa saja melihat kinerja Hinata yang tanpa celah, membuatnya mendapatkan promosi dengan cepat. Tidak buruk juga kalau-kalau Hinata menjadi ketua tim pemasaran saat itu juga.
Begitu sampai di ruangan Naruto, Hinata melihat pria itu membaca surat pengunduran diri yang sederhana darinya. Dia tidak terpikirkan secara detail apa yang sebaiknya dia tulis di sana untuk alasan keluarnya dia dari perusahaan itu.
Naruto mendongak sembari melonggarkan dasinya. "Kau yakin tidak menulis bahwa kau mendapatkan pelecehan tadi malam, maka dari itu kau ingin mogok kerja?"
"Saya tidak mogok kerja. Saya berniat menghentikan kerja sama."
Hinata terperangah saat Naruto menyobek kertas pengunduran diri itu, lalu dilemparkannya ke tempat sampah. "Kau pikir aku langsung setuju?" Hinata mengepalkan tinjunya. Dia kesal dengan ketidakberdayaan yang tengah dirasakannya. Ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya karena gemas. Jika dia diharuskan berdebat soal pekerjaan dan apa yang selama ini sudah dikerjakannya, Hinata jauh lebih baik untuk membantah. Namun ketika pria itu melecehkannya, sesuatu yang tidak pernah diuntungkan sebagai seorang wanita, dan beranggapan itu hal yang paling wajar, menjadi persoalan paling rumit yang malas direspons olehnya.
"Mengapa kita tidak melakukan perjanjian yang lebih menarik?"
"Saya akan pergi dari sini."
"Padahal aku punya segudang alasan untuk mengatakan kau berhak berselingkuh, dan aku tidak masalah menjadi pria paling berani untuk merebut dirimu dari kekasihmu," Hinata memutar tubuhnya dengan ketidakpercayaan, belum lagi melihat pria itu terbahak-bahak di tempatnya. Lalu berjalan mendekatinya yang hendak meninggalkan ruangan itu, tetapi tiba-tiba pintu itu sulit dibuka atau dia lagi-lagi kalah oleh kecemasannya. "Sayangku, apa kau pikir kekasihmu adalah pria paling suci?"
"Anda mengatakan sesuatu yang tidak penting."
"Benarkah itu tidak penting? Kau boleh pergi begitu saja kalau memang tidak penting. Tetapi kau tetap berhenti di sini untuk mendengarkan kelanjutannya, dan apakah Kiba Inuzuka adalah pria yang pantas kau cintai?" Hinata merengut gelisah, dan ternyata pria itu mampu membuatnya goyah. "Mau aku tunjukkan pertunjukkan yang menarik?"
"Apa?"
Naruto menarik Hinata yang memberontak karena dia tidak sudi untuk disentuh oleh pria itu. Kemudian tubuhnya yang mungil itu diempaskan ke kursi kerja Naruto, sementara dia dapat melihat layar lebar itu menampilkan sesuatu yang tidak pantas. Dan sebelum dia dapat mencibir pria itu karena sudah melihat video porno ketika hari masih pagi, Hinata menyadari bahwa video yang ada di layar itu adalah dia sebagai tokoh utamanya yang tidak berdaya.
Tangan Hinata gemetaran. Kedua matanya melebar, dan respons tubuhnya yang berhenti dari yang sebelumnya berusaha memberontak, kini terdiam tak dapat bergerak. "Apa ini?" tanyanya dengan tergagap. "Apa maksudnya ini?"
"Momen kita bercinta, sebaiknya memang harus diabadikan, bukan?" Hinata buru-buru menghapus video itu, tetapi Naruto kembali menyadarkannya. "Kau pikir aku tidak menyalin file tersebut?" Hinata terduduk lemas. Namun di sela-sela dia tidak berdaya, dia merasakan jemari Naruto mengabsen bibirnya.
"Aku berharap bisa berada di dalam mulutmu yang kecil ini. Apakah itu terasa panas?" Hinata mendorong dengan segera, tetapi lagi-lagi Naruto jauh lebih unggul darinya. "Kalau kau tidak menjadi penurut, aku mungkin tidak sengaja untuk mengirim video itu ke semua rekan di ruanganmu. Ah, apakah kau masih berpikir untuk mengundurkan diri?"
"Kenapa harus aku?" air mata Hinata mengalir, dia tidak dapat bergerak lagi. Satu-satunya yang dilakukannya hanya bertanya pada pria itu dan dirinya sendiri. Apakah kesalahannya sampai dia diperlakukan seperti ini.
"Karena aku menyukaimu."
"Harus dengan cara seperti ini?"
"Kau benar, mengapa aku harus melakukan semua itu sampai sejauh ini," gumam Naruto. "Tapi setiap fantasi yang melintas itu membutakanku. Aku hanya ingin mendapatkanmu, mengurungmu pada tempat yang tidak memiliki jendela, dan satu-satunya yang bisa kau lihat adalah aku, sebagai pria yang mencintaimu."
"Tidak! Itu bukan cinta! Kau gila!"
Hinata ditarik kembali menuju meja rapat di ruang itu dengan memberontak berharap bahwa Naruto dapat melepaskannya. Namun pria itu mulai gelap mata, mengancam dan memaksanya untuk berbaring di atas sana. Hinata tidak berdaya ketika Naruto mulai melepaskan celana dalamnya, sementara tangan pria itu mulai menerobos masuk ke dalam dirinya. Ia menahan jeritan dengan menutup mulutnya, mengabaikan air matanya mengalir karena kesedihannya. Disentuh sembarang oleh seorang pria yang bahkan tidak dikenalnya baik, itu melukai harga dirinya.
Tidak lama dari itu, dia merasakan sesuatu yang keras memasukinya. Ia melihat bahwa Naruto mulai bergerak dengan konsisten ke arahnya. Semakin bergerak, semakin membuat Hinata kehilangan napas. Tubuhnya memanas, dengan ujung jari yang mulai meruncing, dan selanjutnya merasakan klimaks pertama dari pria yang tengah menggagahinya itu.
"Hentikan! Kumohon hentikan!"
"Aku ingin mendengar suara lembutmu seperti tadi malam!" Hinata tidak dapat mengatur suaranya yang mengerang. Lehernya yang sakit karena tercekik oleh tangan Naruto semakin membuat kesadarannya mungkin akan menghilang. Hinata pun terjatuh, dengan tidak berdaya karena tubuhnya melemah. "Aku ingin mulai sekarang kau sering datang kemari untuk bermain."
Hinata terduduk di lantai tak bersuara. Ia syok melihat penampilannya yang berantakan, bahkan kewanitaan yang terasa pedih karena dipaksa harus melayani pria itu secara tiba-tiba.
"Bersihkan tubuhmu di kamar mandi."
Ia bahkan tidak diizinkan untuk mengatur perasaannya dan rasa sakit itu. Hinata merangkak sebentar dan dengan sempoyongan dia berjalan ke kamar mandi di ruangan itu. Ia melihat cermin yang memantulkan dirinya. Bekas memerah di sekujur dada dan lehernya. Tiga kancing yang terlepas, rok yang awalnya rapi tampak kusut tidak karuan. Ia pun dapat melihat bekas-bekas sperma mengotori kaki dan bajunya.
Hinata menjerit di kamar mandi. Kemudian menilai diri sendiri seperti pelacur yang baru saja melayani seorang pelanggan hidung belang. Atau, seorang karyawati yang mencoba naik ke peringkat paling tinggi hanya demi posisi yang diinginkannya. Tangannya diletakkan di masing-masing kepalanya dengan tubuh yang bergetar hebat.