.
.
.
🍁🍁🍁
Punggung Sara membentur dinding di ruang tamunya. Dua pelayan Sara tidak berani maju, walaupun ada kekhawatiran jika mereka tidak segera menenangkan, akan berakibat Sara bisa saja terluka. Masalahnya, tidak ada satu pun yang berani menenangkan Naruto Uzumaki yang tiba-tiba datang dari pintu utama, lalu mencari Sara. Mereka pikir wajar bagi pria itu mencari Sara malam-malam, karena mereka dekat. Rumornya mereka kembali bersama. Tapi mungkin saja tidak.
“Sepertinya kau sudah hilang akal, Sara,” kata Naruto geram, tangannya mencekik leher Sara yang sudah hampir kehilangan napas. “Jika kau mati di sini sekarang, kakek mungkin saja tidak bisa memaafkanku. Jadi, aku beri kesempatan dalam 24 jam untuk meninggalkan Jepang segera. Kalau sampai lusa aku masih melihat batang hidungmu di sini, aku memastikan kau akan mati di tanganku.”
Sudah hampir semenit lebih kaki Sara tidak menyentuh lantai. Naruto kemudian menghentikan perbuatannya sehingga perempuan itu terjatuh sembari mengatur napas.
Pelayan-pelayan itu datang membantu Sara yang sudah lemas, tetapi masih tidak ada yang berani memindahkan Sara ke sofa nyaman yang tidak jauh dari sana.
“Kau paling tahu, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku.”
Sara berteriak sekeras-kerasnya begitu Naruto meninggalkan rumahnya.
Deru mobil Naruto terdengar menjauhi halaman rumah Sara. Pria itu mengendarai mobilnya dengan cepat, menuju arah titik yang ditampilkan pada layar kemudi Land Rover-nya.
***
Hinata pergi ke rumah Tenten, dengan kondisinya yang sedikit aneh.
“Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu?” Hinata memeluk temannya itu dengan sedih. Ia mungkin saja sudah menaruh harapan berlebihan kepada Naruto, atau dia memang yang terlalu percaya diri bahwa pria itu sedikit berbeda meski mendekatinya dengan penuh agresif.
Semalaman, Hinata tidak membicarakan masalahnya, sedangkan Tenten pun tidak ingin membuat Hinata tidak nyaman dengan bertanya berlebihan. Tenten akan menunggu sampai Hinata siap, tetapi ketika dia bangun, Hinata sudah tidak berada di tempatnya. Entah ke mana perginya, tapi Tenten mencoba mengirimi pesan, tetapi tidak satu pun dibalas.
Hinata ingat apa saja yang ada di dalam ruang rahasia di rumah Naruto. Mereka berdua teman satu sekolah, tetapi anehnya Hinata tidak ingat apa di sekolahnya ada pria bernama Naruto Uzumaki. Dengan datangnya dia ke SMA-nya dulu, mungkin saja dia bakal tahu siapa lelaki itu, dan mengapa dia harus dipermainkan sampai seperti ini.
Setelah melewati gerbang, Hinata disapa oleh tukang kebun yang dulunya sangat dekat dengannya. Sudah lama tidak bertemu, pria itu terlihat jauh lebih tua, dan jalannya tidak secepat dulu. Tukang kebun tersebut juga merangkap sebagai pembimbing bilamana ada seorang anak yang berniat untuk belajar menanam bunga maupun merangkai bunga. Hinata ingat sekali, dulu dia sering diminta tolong untuk memberi makan kelinci yang ada di taman belakang, diajari pula cara merawat mereka sampai mereka benar-benar terlihat lincah.
Suatu hari, kelinci tersebut jatuh sakit, lalu menghilang, tetapi keesokan harinya, setelah hampir seminggu tidak bisa ditemukan ke mana kelinci yang sakit itu pergi. Tiba-tiba tukang kebun itu menemukan bahwa kelinci itu sudah kembali ke kandangnya dengan keadaan yang lebih sehat.
“Oh, aku akhirnya tahu, kau pernah bertanya bagaimana kelinci itu bisa muncul, ‘kan? Ini bukan karena dia sudah ditolong Dewi,” tukang kebun itu tertawa saat mereka melewati kendang kelinci yang sudah kosong. Mereka sempat berhenti, tetapi kembali berjalan menuju ke perpustakaan. “Kelinci itu sembuh berkat orang lain. Seseorang mengantarkannya dari klinik hewan dekat sekolah, yang sekarang sudah tutup.”
“Seseorang?”
“Iya, dia bekerja sebagai sopir. Dia diperintahkan menjemput kelinci itu dari klinik hewan, dan diantarkan ke sekolah,” saat sudah sampai di depan perpustakaan, mereka sama-sama berhenti, Hinata mendengar lebih serius ketika tukang kebun itu mencoba mengingat dengan menceritakannya kembali. “Anak-anak memanggilnya Uzumaki. Dia anak laki-laki yang ceria dan tampan. Aku masih ingat bagaimana dia tersenyum karena kelinci itu sudah bisa makan dengan lahap dan dia bisa berlari lagi.”
“Maksud Anda Naruto Uzumaki?”
“Oh, benar. Itu namanya. Dia cukup populer karena dia sangat peduli pada teman-temannya. Dia juga ramah pada siapa pun. Tidak ada orang yang tidak mengenalnya di sekolah ini, bukan?”
Hinata hanya tersenyum ketika tukang kebun itu membicarakannya. Ternyata satu-satunya yang tidak mengenal Naruto adalah Hinata seorang. Karena gadis itu lebih menghafal teman-teman kelasnya daripada teman dari kelas lain. Dia juga tidak pernah datang ke acara reuni satu angkatan, menyebabkan dirinya makin tidak dikenal atau mengenal yang lainnya. Seandainya dia dapat bersosialisasi dengan baik, mungkin saja Naruto tidak akan merasa sia-sia untuk setiap tahunnya datang ke acara yang sebenarnya tidak cukup penting itu baginya.
“Pak, apakah aku boleh berkeliling setelah meminjam buku dari perpustakaan?”
“Tentu saja, apa kau ingin bernostalgia?”
“Iya, aku ingin mengingat semua kenangan yang sudah aku lewatkan di tempat ini.”
Angin yang berembus, suasana riuh sekolah, bel masuk kelas, dan decit sol sepatu, membuat Hinata rindu. Keriuhan itu melemparkannya ke masa lalu saat dia berada di sekolah. Hinata baru menyadari kalau dia tidak banyak teman pada saat itu, yang mengakibatkan dia tidak mengenal Naruto Uzumaki ketika semua orang membicarakan pria itu semasa sekolah. Hinata mempertanyakan kedekatan mereka yang terlambat dan apa saja yang sudah disimpan Naruto dalam ruang gelap yang menyeramkan itu.
Memasuki ruang kesehatan yang kosong, Hinata berdiri di depan jendela dan melihat barisan anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran olahraga di lapangan. Dari dulu, dia tidak pernah suka pelajaran olahraga karena dia akan sering lelah, kadang-kadang dia bahkan terserang demam. Hinata lebih banyak berakhir di ruang kesehatan karena guru memastikan kesehatannya tidak bermasalah.
Mendengar sebuah pintu tertutup, Hinata menoleh ke belakang untuk meminta maaf karena masuk tanpa izin ke ruangan itu. Namun masalahnya, yang datang bukanlah dokter jaga. Hinata pun terpaku pada Naruto yang berdiri seolah menghalanginya agar tidak keluar dari ruangan tersebut.
Hinata mengalihkan tatapannya seolah dia tidak ingin goyah sedikit pun.
“Kau tidak masuk kerja, aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, dan mengapa kau bisa sampai ke sini.”
“Apa kau sadar yang sudah kaulakukan padaku? Bagaimana kau tahu aku di sini?” Naruto tidak menjawab, dia masih berdiri di tempatnya. “Benar—” Hinata menarik napas, hampir tidak bisa melanjutkannya. “Kau mengirim seseorang untuk menggali informasiku? Sejak kapan? Kenapa? Kenapa harus aku?”
“Karena aku mencintaimu.”
“Berhenti! Aku mohon kau menghentikan permainan ini! Kau tidak sadar apa yang sudah kau perbuat, dan ruangan itu? Menggambarkan segala niat jahatmu. Kau maniak! Kau gila! Kau benar-benar pria paling—” sebelum Hinata menyelesaikan perkataannya, dia dibungkam oleh ciuman, lalu membawa Hinata menjauhi jendela. Dia tidak dapat bergerak karena ulah Naruto yang memaksanya untuk tetap berada di posisinya. Hinata mungkin saja terlena sekejap saja, tapi dia kemudian sadar untuk mendorong Naruto pergi darinya.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ODIOUS ✔️
FanfictionDark Romance Rate M Cinta yang keliru selalu buta. Cinta selalu membuat gembira, tak kenal hukum, bersayap dan tak terbatas. Dan cinta mematahkan semua mata rantai logika, sehingga mungkin bagi Hinata Hyuuga, William Blake tak pernah salah menulisny...