.
.
.
🍁🍁🍁
Barista mengangguk patuh ketika seseorang memberikannya satu pil aneh untuk dicampurkan ke dalam minuman, yang lalu dikirimkan ke meja khusus seorang pelanggan yang datang bersama gerombolannya. Setelah sebelumnya mereka melakukan reservasi tadi siang yang secara mendadak, sehingga membuat Izakaya tersebut mau tidak mau menerimanya, karena sudah pasti mereka akan mendahulukan perusahaan kelas atas untuk mendongkrak popularitas mereka, menjadi bar nomor satu.
Begitu selesai membuat minuman, barista tersebut menyerahkan koktail itu ke pelayan untuk diantarkan ke meja khusus, dan memastikan bahwa pelayan itu tidak salah mengirimkan minumannya. Setelah mendarat dan dinikmati si gadis yang sudah ditargetkan, barulah barista itu tenang dan bisa kembali ke pekerjaannya.
Untuk hal-hal seputar campuran obat ke dalamnya, itu bukan kali pertama dia mendapatkan perintah semacam itu. Barista tersebut sudah bekerja setidaknya tiga puluh tahun, tidak cukup terkejut bila ada pelanggan dengan permintaan aneh, tetapi tentu saja, semakin dia berpengalaman untuk melakukannya, fee yang harus dibayarkan pun bernilai tinggi. Walaupun begitu, si barista tidak begitu saja menerimanya, dan sebelum itu, dia harus memikirkan tingkat risiko yang didapatkan nantinya. Dilihat dari pengalamannya, obat itu bukan jenis atau dosis yang terlalu tinggi. Tidak ada serangan selain mengantuk berat, setidaknya itu masih aman. Gadis itu sudah pasti akan bangun keesokan paginya.
Saat gadis itu sudah pulang dan gerombolannya pun menyusul. Seorang pria tiba-tiba datang menghampiri sang barista. “Kau sudah bekerja keras,” si barista hanya tersenyum, tidak menjawab atau sekadar basa-basi karena perintah yang sudah dijalankannya dengan baik. “Asistenku akan mengirim uangmu ke akunmu segera.” Lalu pria itu pergi setelahnya.
Kebanyakan pria yang ditemuinya dengan pikiran licik selalu terlihat bermain-main. Namun sang barista merasa aneh ketika dia mencermati mata biru si pelanggan tadi yang justru tidak terbaca apa-apa dan dingin. Seolah ada banyak kesedihan atau sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain tentangnya. Mata biru yang seharusnya itu justru memancarkan kegelapan yang mengerikan. Akan tetapi peduli setan. Ia tak akan mencampurinya, maka si barista hanya kembali ke pekerjaannya seperti semula.
Bagi Naruto Uzumaki, bohong kalau dia tidak merencanakan apa yang sudah dilakukannya barusan. Ia hidup dengan banyak rencana, di luar dari bagaimana dia membangun perusahaan keluarganya menjadi semakin besar. Naruto dengan siap menciptakan sangkar bagi Hinata Hyuuga agar nyaman berada di sisinya. Prioritas memiliki Hinata sudah menjadi hal yang paling benar. Naruto tidak membutuhkan apa-apa lagi, selain gadis itu melengkapi hari-harinya.
Setelah membuat gadis itu tidak sadarkan diri, Naruto membawa ke apartemennya, dan memerintahkan sopirnya untuk segera pergi, sementara dia mendorong Hinata terjatuh di atas kasurnya yang besar.
Melihat gadis itu ada di sini bersamanya terlihat seperti mimpi baginya. Jujur saja dia pernah menyerah ketika membayangkan bahwa hari kelulusan itu tiba, dia tidak akan pernah bisa melihat Hinata yang dipandanginya dari jauh. Secara garis besar gadis itu tidak populer, tidak terlalu menarik, dan selebihnya mirip kutu buku. Temannya bahkan saat itu mengatakan bahwa aneh baginya yang populer dan kaya harus mengagumi sosok gadis seperti Hinata. Dia bisa mendapatkan gadis yang lebih baik, bukan sekadar hanya kedudukan di atas kekayaan yang sama dengannya. Akan tetapi masalahnya, selera selalu yang paling unggul dengan mengesampingkan keuntungan yang ada. Menciptakan obsesi yang tidak pernah dibayangkannya.
Begitu Naruto melepaskan setelan necis dari tubuhnya, menyisakan kemeja putihnya. Naruto segera mengambil kamera, dan di sela-sela itu, dia melepaskan hampir seluruh kancing Hinata. Dada Hinata yang padat menyembul saat Naruto mengangkat kamisol putih gadis itu. Ia bahkan tidak percaya dapat menyentuhnya. Memberikannya tanda merah di sekujur dada, perut, dan pundaknya. Gadis itu menarik, dengan melenguh lembut yang keluar saat matanya masih terpejam. Aroma manis menyelimuti penciumannya, sehingga Naruto bertanya-tanya, apakah dia dapat menggunakan sabun atau shampo yang sama?
Selesai dengan tubuh bagian atas, Naruto berpindah ke bawah. Ia mendorong rok Hinata agak ke atas. Ia memuja bagaimana kewanitaan gadis itu yang terlihat mungil nan menggemaskan. Naruto merasakan aliran darahnya mendidih hanya dengan menyentuhnya saja. Wajahnya memerah, menginginkan lebih dari sekadar bahwa dia dapat menyentuh bagian tersebut sebebas yang diinginkannya. Bahkan begitu jarinya masuk ke dalam Hinata, dia merasakan kedutan lembut, dan jari itu ditelan begitu saja.
“Hentikan—” ujar Hinata, mengerang ketika Naruto menjalankan pencabulan yang gadis itu pasti tak pernah memikirkannya. Suara Hinata makin tercekat, sementara dia masih mencoba terlelap. Matanya sungguh berat hanya untuk sekadar digerakkan. “Kiba, kumohon, hentikan!” jari Naruto tiba-tiba ditarik keluar. Ia terperangah sesaat mendengar Hinata memanggil nama pria lain di tengah aksi itu berlangsung. “Tubuhku, panas.”
Naruto membuka paha Hinata lebar. Ia mulai gelap mata. Padahal tidak bermaksud untuk menggagahi gadis itu sekarang juga. Ia ingin melakukannya secara bertahap sesuai dengan susunan yang sudah dibuatnya.
“Mengapa kau harus menyebut nama pria lain saat kita hendak bercinta?” bisik Naruto, dia membungkuk, memosisikan dirinya tepat di kewanitaan Hinata. Ia tak ingin lama berpikir hanya untuk menenggelamkan diri ke dalam gadis itu. Naruto mendorongnya secara perlahan, sedangkan kedua tangan Hinata mencengkeram setiap sisi seprei di sampingnya. “Hinata, kau harus memanggil namaku,” Naruto berbisik lagi. “Panggil namaku!” sekeras apa pun Naruto mencoba memerintahkan Hinata, gadis itu tak sekali pun menanggapi.
Naruto mencoba menggerakkan pinggulnya lebih tidak sabaran, dan melakukan apa yang diinginkannya. Di saat-saat seperti itu dia menempatkan kebencian dan kemarahan itu yang terkesan salah amat, karena sudah pasti kemarahan yang tengah dirasakannya bukan Hinata penyebabnya.
Pada klimaks pertama, ketika Naruto bahkan tidak menggunakan kondom—ya, tentu saja, untuk apa dia harus mempersiapkan hal itu—dia memikirkan kalau gadis itu mungkin saja hamil, dan dengan begitu, gadis itu tidak akan pernah meninggalkannya. Segala pikiran egois itu membuatnya menutupi kebejatannya malam itu. Ia lebih senang membayangkan kalau besar kemungkinan hubungan mereka mendapatkan titik kemajuan yang lebih pasti. Tanpa membayangkan bahwa akan ada insiden besar yang menimpa sebentar lagi.
“Aku... sungguh tidak suka gadis sombong sepertimu, Hinata,” Naruto membuka mulutnya, dia menggigit pundak gadis itu untuk memberikan tanda bahwa mereka sudah menghabiskan semalaman bersama. Dan tanpa diungkapkannya, dia sudah merekam percintaan tersebut. Tidak hanya mengabdikannya pada foto yang mungkin lagi-lagi dapat lebih menyempurnakan koleksinya. Suatu hari, dia akan menunjukkan semua bukti cinta itu pada gadis yang tertidur pulas itu.
Sebelum meninggalkan Hinata di kamar sendirian, Naruto menyelimuti gadis itu, lalu mencium pipinya. “Kau benar-benar cantik malam ini. Aku selalu memastikan kau akan mendapatkan tempat yang lebih layak di hatiku,” Naruto membungkuk sebentar, berbisik ke telinga Hinata. “Ingat, satu-satunya pria yang mencintaimu dengan buta hanya aku.”
Naruto tidak akan berhenti untuk memujanya dan lebih dari sekadar itu, dia tidak akan segan-segan menyingkirkan siapa saja yang menyentuh gadis itu, karena Hinata Hyuuga adalah miliknya. Dia akan memastikan siapa pun tidak akan merebut darinya.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ODIOUS ✔️
FanfictionDark Romance Rate M Cinta yang keliru selalu buta. Cinta selalu membuat gembira, tak kenal hukum, bersayap dan tak terbatas. Dan cinta mematahkan semua mata rantai logika, sehingga mungkin bagi Hinata Hyuuga, William Blake tak pernah salah menulisny...