.
.
.
🍁🍁🍁
Tenten bukan gadis yang kuat minum banyak. Setiap kali mereka sehabis dari Izakaya, Hinata mencari taksi dan meminta pak sopir untuk mengantar temannya itu ke tempat tujuan, yaitu apartemen tempat tinggal Tenten. Masih sedikit sadar, Tenten melambaikan tangan pada Hinata dan mengatakan perpisahan penuh pilu yang aneh.“Dasar, tidak berubah,” gumam Hinata kesal.
Melihat sudah pukul dua belas malam, Hinata bergegas pulang, beruntung bahwa Izakaya tidak jauh dari rumahnya, meskipun dia memerlukan waktu sekitar empat puluh menit untuk berjalan. Di tengah larangan untuk tidak menggunakan ponsel saat berjalan, Hinata mencoba mengabaikannya karena dia penasaran apakah Kiba mungkin saja mengirimi dia pesan. Namun tak ada satu pun pesan masuk dari kekasihnya itu. Hinata menghela napas, dan tahu-tahu dia sudah sampai di tempat tinggalnya.
Di luar apartemen, seorang laki-laki mengamati tempat tinggal gadis itu di dalam mobil Land Rover gelap dengan kaca anti-peluru sekelas pengamanan mobil Perdana Menteri. Sopir laki-laki itu hanya melirik dari kaca spion, tak bersuara, dan tak berniat untuk bertanya, sampai kapan mereka akan tetap di situ, sedangkan penerangan dari apartemen tempat gadis yang dibuntuti oleh mereka sejak tadi telah padam.
Melihat arlojinya, Naruto Uzumaki, pria dengan wajah dingin dan datar itu mengamati sudah terjebak berapa lama dia di sana. Dan ketika waktu menunjukkan lewat tengah malam, dia menyuruh sopirnya untuk menginjak gas, lalu pergi dari tempat itu.
Tidak bersuara selama perjalanan, tiba-tiba kesunyian itu memecah begitu dia mendapatkan panggilan dari seseorang. Sebelum menjawabnya, sering kali Naruto mengamati siapa yang menghubunginya malam-malam. Setelah cukup yakin untuk menerimanya, dia mengangkat panggilan itu, lalu membuatnya beramah-tamah walau sulit untuk dilakukannya. “Ada apa malam-malam begini?”
“Kau akan pulang ke rumah atau pergi ke Azabu?” tak keburu menjawab, Naruto justru melihat jalanan di sekitar Tokyo yang masih ramai. Di daerah sekitar Akihabara yang padat itu, membuatnya berkeinginan untuk mampir. Namun dipikir lagi, untuk apa dia datang ke tempat itu kalau hanya sekadar minum saja. “Mengapa tidak menjawab?”
“Aku akan sarapan di rumah besok pagi, tapi hari ini aku perlu membereskan Penthouse.”
“Membereskan? Kau sungguh rajin, Nak.”
“Tidak, tentu saja aku memanggil seseorang untuk membereskannya, tetapi ada barang pribadi yang tidak boleh disentuh sembarangan, dan aku pikir perlu membereskannya sendiri,” pria tua seperti Jiraiya di seberang sana bisa apa. Ia tak berniat ikut campur urusan cucunya itu, walau kecenderungan yang aneh itu kadang membuat Jiraiya mengernyit linu. Seandainya dia punya banyak keberanian untuk menegur, maka dia akan melakukannya sejak dulu. Namun untuk cucunya terkasih dan yang paling dia sayangi, Jiraiya tidak melakukannya—dan sebaiknya tak perlu dilakukannya.
Naruto sering kali menghilang begitu saja sampai berbulan-bulan, kalau dia mulai mengeluarkan ultimatum mengerikan. “Jika tidak ada yang ingin kaukatakan lagi, aku tutup teleponnya.”
“Baiklah, selamat malam, aku tunggu untuk sarapan pagi.”
Sudah tidak terhitung berapa kali dia menghela napas hanya untuk mendengar ocehan kakeknya. Keluarga satu-satunya yang masih hidup. Orang tua yang harusnya dihormati dan menurutnya dia tidak bisa begitu saja mengoceh tiba-tiba hanya karena dia tidak ingin datang untuk menyarap nanti pagi.
Sampai di The House Azabu, Naruto segera pergi ke unit paling atas, di mana tempat paling aman dengan privasi yang terjaga rapat. Area paling mewah yang Tokyo miliki, sehingga banyak sekali kedutaan besar dunia yang memilih tinggal di kondominium mewah di sekitar situ. Ia tidak akan banyak bicara siapa dia dan berapa yang dimilikinya, tetapi orang kaya lama mungkin segera mengenali siapa pemilik properti di sekitar kawasan Hiroo, dan kini siapa yang tinggal di kondominium mewah paling eksklusif yang hanya ada 119 unit di kawasan tersebut.
Naruto menjatuhkan diri di atas sofa baru yang menghadap balkon tanpa tirai, dengan pemandangan kota. Pesan kemudian masuk memalui ke e-mail. Naruto kembali beranjak dan pergi ke ruang kerja yang masih tidak terlalu rapi ditata olehnya. Ia menyalakan komputernya, melihat kiriman video, lalu diputar olehnya, dengan catatan tambahan di antara video yang dikirimkan itu. “Kirim uangnya ke akun biasanya, jangan sampai lewat 24 jam.”
Setelah melihat layar komputer, Naruto meraih amplop cokelat besar berisi banyak sekali lembar foto. Ia pun menyimpannya di dalam laci sebelum nantinya akan ditata rapi dalam ruang yang disiapkan olehnya secara khusus.
Hari seperti ini pun tiba, di mana dia akhirnya dapat membuat gadis itu melihatnya sebagai pria yang bisa dicintainya. Naruto menunggu hari-hari seperti ini datang, dengan rencana-rencana yang disusunnya terlebih dahulu di dalam kepala. Ia tak peduli kalau orang lain berkata bahwa dia aneh dan gila. Soal selera, siapa pun orang punya rasa yang berbeda-beda untuk menanggapi, apalagi itu soal cinta. Nyatanya, saat SMA mereka bahkan tak pernah dekat. Sudah berapa lama dia membuang-buang waktu hanya untuk perhatian gadis itu dengan cara yang paling klise. Naruto beranggapan cerita roman picisan hanya berada di buku, tidak berlaku untuk dunia nyata apalagi kehidupannya.
Keesokan paginya, Naruto datang ke kantor, melakukan tur dengan diperkenalkannya sebagai pimpinan baru di cabang Jepang. Ia melihat tanggapan orang-orang tak ada yang tulus. Akan tetapi, gadis yang dipujanya dengan senyuman manis kini membuat perasaannya jauh lebih baik. Sialnya, dia menjadi lebih gila dari biasanya. Apa yang sudah dia siapkan—keyakinan yang melebihi bahwa dia masih punya Tuhan—semakin menyatu dengan jalan pikiran maupun kewarasannya.
Belum, sebentar lagi, harusnya ada permainan yang lebih menarik.
“Dia perencang utama dari Tim 1, namanya Kiba Inuzuka,” Naruto melirik pria berambut cokelat di depannya. Ia mengulurkan tangannya dengan enggan, terlihat bahwa dia tidak pernah peduli pada karyawan biasa seperti mereka. “Dan ini adalah Hinata Hyuuga, ide-idenya sangat menarik, dia kebanggaan Tim 1, asisten Pak Inuzuka.”
“Salam kenal semua, mulai sekarang mohon kerja samanya.”
Setelah perkenalan penuh dengan basa-basi yang tak pernah diharapkannya lebih dari sekadar omong kosong, Naruto segera meninggalkan ruang pemasaran. Dia pergi ke lantai paling atas pada gedung perusahaannya sambil memikirkan bagaimana wajah Hinata hari ini. Dia melirik setiap lekuk tubuh gadis itu. Dimulai dari matanya yang kelabu, hidung yang mancung, bibir yang mungil dengan warna merah merekah, tak peduli sentuhan lipstik di antara bibir kenyal itu. Dia tidak dapat mengenyahkan segala pikiran untuk memiliki, apalagi berkeinginan untuk segera menyentuhnya. Gadis itu miliknya, sejak dia menandainya di perjumpaan pertama. Sejak dia memutuskan untuk mendapatkannya dengan berbagai cara.
“Dia milikku.” Naruto bergumam.
“Ya? Apakah baru saja Anda mengatakan sesuatu?”
Naruto melirik manajer utama yang mengajaknya berkeliling tadi, masih sama-sama berada di dalam lift. “Aku pikir kita perlu pesta kecil,” katanya kepada pria di sampingnya.
“Apakah ada tempat makan atau pub yang bagus di sekitar kantor? Tapi aku tidak masalah di mana pun tempatnya, kau bisa mengaturnya untukku?”
“Apakah malam ini?”
“Lebih cepat lebih baik.”
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ODIOUS ✔️
FanfictionDark Romance Rate M Cinta yang keliru selalu buta. Cinta selalu membuat gembira, tak kenal hukum, bersayap dan tak terbatas. Dan cinta mematahkan semua mata rantai logika, sehingga mungkin bagi Hinata Hyuuga, William Blake tak pernah salah menulisny...