.
.
.
🍁🍁🍁
Penampilan tidak terlalu penting, karena yang membuat Hinata malu adalah dirinya sendiri yang keluar dengan tubuh penuh dosa. Ia tidak pernah membayangkan akan jatuh ke dalam neraka yang mengerikan. Ketika bertatapan atau bertemu pandang dengan orang-orang yang melewatinya, dia merasa kalau mereka sedang mencibir kelakuannya. Hinata tahu itu bukan kesalahannya, tetapi keadaan memaksanya untuk merasa bersalah.
Sehabis menyeka air mata, di depan ruangan divisi pemasaran, Hinata pun buru-buru masuk dengan perasaan yang seolah tidak terjadi apa-apa. Namun kejanggalan itu membuat temannya satu kantor merasa aneh. Hinata adalah gadis paling rapi. Gadis itu selalu memastikan penampilannya menjadi contoh bagi orang lain. Akan tetapi anehnya siang itu, penampilannya seperti gadis yang baru saja berlari mengitari lapangan bisbol hanya karena dihukum guru olahraga, sehingga menyebabkan bekas-bekas keringat dan wajah yang lelah tampak terlihat jelas.
Kemudian masuklah Kiba dan Tamaki yang sedang bergurau sebentar sebelum melihat Hinata yang melotot terkejut ke arah mereka. "Dari mana kalian?" Hinata tidak menyadari bahwa dia bertanya karena alasan beberapa waktu lalu, Naruto mencoba memengaruhinya. Padahal dia tidak pernah berprasangka buruk kepada orang lain, apalagi kepada Kiba yang selama ini pun dekat dengan Tamaki. "Apa yang kalian lakukan? Mengapa masuk bersama?"
Tamaki melihat penampilan Hinata dari kepala sampai kaki. Buruk sekali. Penampilan itu sama sekali tidak mencerminkan Hinata, maka sudah sewajarnya bagi Tamaki untuk bertanya kepada gadis itu. "Kau baik-baik saja?"
Hinata berjalan mendekati mejanya mengabaikan Tamaki. Dia duduk dengan mata terpejam sembari kedua tangannya memijat pelipis, dan baru menyadari betapa aneh pertanyaannya tadi. Tidak cukup dengan penampilan, kini dia harus bertanya hal yang seolah menunjukkan dia sangat cemburu kepada Tamaki, yang tentu saja gadis itu tidak memiliki kesalahan apa pun, karena toh selama ini mereka sering kali saling membantu, dan kedekatan di antara mereka tidak sekalipun aneh karena mereka semua rekan kerja.
"Hinata, kau sangat pucat. Apa kau sedang sakit?" Hinata membisu, dia masih tetap pada posisinya untuk menenangkan diri. Tapi Kiba terus menyerangnya dengan pertanyaan. "Kau habis dari mana tadi? Aku mencarimu."
"Apa benar kau mencariku?" tanya Hinata dengan nada lebih rendah, karena dia tidak berniat membuat keributan dan seolah menjadi gadis pencari perhatian. "Apa kau tahu apa yang terjadi padaku? Apa kau akan selalu ada untukku?"
Kiba terdiam, dia berpikir apa sebaiknya meninggalkan gadis itu agar tenang. Hinata terlihat sangat begitu frustrasi. "Kau tenangkan dirimu dulu, sepulang kerja, aku akan mendengarkan apa yang terjadi padamu. Kita selesaikan masalah itu bersama-sama."
"Tidak perlu, aku ingin sendiri."
Hinata mengambil barang-barangnya, dia segera pergi meninggalkan ruangan itu. Sebagai gadis yang rajin dan tidak pernah membuat kesalahan, semua orang mulai membicarakannya.
"Apa ini ada kaitannya dengan Pak Uzumaki? Beberapa waktu lalu dia dipanggil. Apa dia membuat kesalahan?"
"Aku kira seperti itu, dia terlihat kacau sekali. Jujur saja, aku tidak pernah melihat penampilan Hinata seperti itu."
Kiba masih melihat ke arah Hinata yang meninggalkan ruangan itu tanpa penjelasan. Sedangkan Tamaki kemudian mendekati Kiba, menepuk pundak Kiba, lalu tanpa memedulikan apa yang terjadi barusan, Tamaki meminta tolong pada pria itu untuk membantunya. Dan setelahnya, semua hal mengenai Hinata menghilang dalam sekejap. Kiba tetap berada di sana bersama Tamaki, selain itu terlihat tidak begitu peduli bahwa Hinata mungkin saja membutuhkan dirinya, terlepas dari gadis itu menginginkan kesendirian.
***
Naruto masih ada di kantor malam itu, dan tidak lama setelah dia beranjak dari kursinya, sekretaris yang menempati meja bagian depan ruangan mengetuk pintu, mengumumkan kalau dia ada tamu pada saat itu. Dia tidak terlalu terkejut atau penasaran siapa yang datang ketika dia hendak pulang, nyatanya Naruto menunggu tamunya itu sejak siang
"Suruh masuk."
Tamaki memberi salam dengan cara membungkuk sebelum dia kembali menegapkan tubuhnya dan dengan tanpa ragu menatap mata biru Naruto. "Saya sudah melakukan sesuai dengan perintah Anda," Naruto menyeringai, dan bertanya-tanya apakah serta merta semua itu dari rencananya? Padahal gadis bernama Tamaki mampu melakukannya sekalipun tanpa syarat. "Selanjutnya, apa sebaik yang harus saya lakukan?"
"Aku suka gadis tanpa basa-basi sepertimu," Naruto mendekati Tamaki sembari membawa amplop putih tebal. "Aku berikan lebih dari persyaratan. Semoga klinik hewan keluargamu dapat beroperasi kembali," Tamaki melihat dengan cermat uang yang diterimanya.
Tanpa sadar itu membuat bibirnya melengkung karena senang. "Saat ini aku tidak meminta lebih dari kau dekati Kiba Inuzuka. Kalau bisa, kau harus merebutnya dari Hinata Hyuuga. Bukankah kau menyukai Kiba karena Kiba adalah teman semasa kecilmu?"
Tamaki berusaha untuk tidak menonjol bahwa dia dan Kiba sangat dekat, tetapi mengapa pria itu tahu hal sekecil apa pun dari orang yang terlibat dengan Hinata.
Keluarga Kiba dulu tinggal di sebelah klinik hewan yang dikelola orangtua Tamaki. Setelah itu Kiba pindah, dan Tamaki berpikir dia mungkin saja tidak akan bertemu Kiba, tetapi suatu hari, saat dia baru bekerja tiga hari di perusahaan ini sebagai anak magang, dia dengan cepat mengali Kiba, dan beruntungnya pria itu juga mengenalinya sebagai Tamago, karena Kiba sering mengoloknya seperti itu.
"Apakah ini kebetulan?" tanya Tamaki, tangannya tiba-tiba terasa dingin seolah dia memegangi bongkahan es yang menusuk sampai ke dalam tulangnya. "Atau... Anda benar-benar menyelidiki semua hal yang menyangkut Hinata?"
Naruto berjalan mundur sampai akhirnya dia membelakangi Tamaki, sementara Naruto melihat pantulan bayangan Tamaki dari jendela yang memamerkan pusat kota sebagai pusat kekuasaannya-setidaknya dia dapat membayangkan dirinya sebagai tirani yang menjerat seorang budak tidak penurut. Dia bisa tahu apa saja yang ada di dekat Hinata sampai ke akarnya, dan dengan begitu dia dapat menguasai gadis itu. Ia akan tahu semua hal tak terkecuali, sehingga mungkin saja dia tidak dapat dibodohi.
"Apakah menurutmu penting bagiku untuk menjawab pertanyaanmu?"
Tamaki menunduk, merasa takut. Udara di ruangan ini semakin lama semakin menyesakkan. Ia harusnya tidak lancang agar bisa keluar dengan selamat. Namun rasa penasarannya itu membuncah, lalu membuat Tamaki bertanya-tanya mengapa pria sekelas Naruto harus melakukan hal seperti ini. Bagaimanapun kalangan tertentu bahkan dengan rela memberikan putri mereka dengan sukarela, tetapi dia meminta gadis seperti Hinata Hyuuga.
Tanpa mendengarkan jawaban, Tamaki justru diberikan perintah baru. Gadis itu pun keluar dari kantor pimpinan tanpa berniat penasaran lagi, karena sudah pasti Naruto Uzumaki tidak menginginkan itu darinya. Akan jauh lebih baik Tamaki mengurusi bisnis orangtuanya yang sebentar lagi mengalami kegagalan.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ODIOUS ✔️
FanfictionDark Romance Rate M Cinta yang keliru selalu buta. Cinta selalu membuat gembira, tak kenal hukum, bersayap dan tak terbatas. Dan cinta mematahkan semua mata rantai logika, sehingga mungkin bagi Hinata Hyuuga, William Blake tak pernah salah menulisny...