.
.
.
🍁🍁🍁
Sewaktu makan siang, Hinata menuruti Tenten untuk makan di restoran seberang jalan yang baru buka. Restoran keluarga itu dibuka dengan separuh harga, Hinata tidak mungkin menolaknya, tapi saat dia makan, Hinata mendapatkan pesan dari ayahnya, bahwa pria itu datang ke Tokyo nanti malam.
Sejak ayahnya terkena PHK, pria itu pindah ke Nagano bersama adiknya, Hanabi, yang baru-baru ini diterima di Waseda. Tenten yang menyadari perubahan Hinata segera menghibur. “Rumahmu terbengkalai, sudah tidak ada yang menyewa dan merawat karena itu bangunan tua. Akan lebih baik kalau keluargamu menempatinya lagi.”
“Aku berencana akan menjualnya, itu sudah sepakat.”
“Tidak, aku rasa itu pilihan bodoh,” kata Tenten. “Seseorang menawari pinjaman kepadamu, kenapa tidak kau gunakan itu saja? Perbaiki rumah itu sedikit demi sedikit. Menyewa apartemen dekat Waseda itu mahal sekali, kau tahu itu,” Hinata tidak akan menyangkalnya. Kalau saja mereka tinggal di Tokyo lagi, tidak akan ada uang sewa bulanan untuk menyewa apartemen. Rumah itu menyimpan banyak kenangan, Hinata tidak mungkin tinggal di sana sendiri, maka dia tinggal di apartemen, dan mungkin adiknya juga harus begitu. “Sebaiknya kau merayu ayahmu.”
Hinata tidak pernah bisa berdebat, atau karena dia lebih senang untuk menghindarinya, apalagi dengan keluarganya. Atau, dia juga akan seperti itu nantinya pada Naruto? Dia jadi ingat masa lalu pria itu yang membuatnya terbayang-bayang hingga kesulitan tidur, sejak pulang dari rumah Naruto. Mereka berdua tampak dekat, sampai memutuskan untuk mulai memanggil nama kecil di luar kantor.
Selesai makan siang, saat Hinata dan Tenten siap untuk memasuki lift setelah mereka buru-buru untuk kembali ke kantor karena sudah melewati jam makan siang, Tenten tiba-tiba berseru, “Bukankah itu Pak Uzumaki? Dia pergi bersama seorang wanita cantik berambut merah. Apakah menurutmu dia kekasihnya?” pada awalnya Hinata tidak ingin melihat karena mungkin saja dia bisa terluka. Namun dia tidak dapat melenyapkan bayang-bayang kedekatan wanita bernama Sara. Seluruh yang ada di dalam kepalanya begitu terlihat vulgar, tapi Hinata tidak bisa menyingkirkannya.
Selain itu, dia mungkin tidak pantas untuk merasa cemburu. Hubungannya tidak lain sebagai hubungan aneh yang awalnya dia dipaksa untuk melayani. Sepertinya ada gangguan pada otaknya, ketika dia akhirnya menerima dan menikmatinya. Ia harusnya pergi ke psikologi mulai sekarang, memeriksakan ketergantungan anehnya itu. Tapi dia tidak cukup berani untuk memulainya. Membayangkan bahwa Naruto tidak menyukai, membuat dia seketika tak bernyali.
Sampai dia pulang pun tidak berkomentar banyak dengan rumor yang bereda luas mengenai Pak Uzumaki yang terang-terangan membawa seorang gadis. Walaupun di tengah hal itu, Hinata dapat mendengar namanya disebut. Dia tidak lagi peduli kalau pada akhirnya namanya tercoreng sebagai Cinderella dari zaman modern. Sebaiknya dia mencari keberanian untuk menghentikan hubungan tidak menguntungkan baginya sendiri. Hanya saja, Hinata lagi-lagi tidak tahu bagaimana harus memulainya.
Selama tiga hari, dia tidak mendapatkan kabar apa-apa mengenai kedekatan itu. Selama tiga hari pula Naruto tidak datang ke kantor. Cukup lama bagi mereka untuk tidak bercinta, dan secara alami membuat Hinata tidak merasa ketergantungan.
Berpisah dari Tenten, Hinata segera pergi ke halte bus terdekat, tetapi langkahnya dihentikan oleh seorang wanita, dan itu adalah perempuan bernama Sara.
“Halo,” sapa Sara, suaranya ramah, tapi wajahnya terlihat agak licik atau itu hanya perasaan Hinata saja, karena sejak awal dia tidak nyaman dengan kehadiran Sara. “Aku sering melihatmu bersama Naruto,” tidak ada alasan bagi mereka untuk berhenti, apalagi perempuan itu sampai keluar dari mobilnya, hanya untuk duduk di samping Hinata yang menunggu bus datang. “Aku baru ingat, kalau kau itu gadis yang ada di buku catatannya.”
“Buku catatan?”
“Gadis yang memenuhi segala lingkup obsesinya. Itu kau, ‘kan?” Hinata tidak menyukai apa yang dikatakan oleh Sara, meskipun sebenarnya dia tidak tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh perempuan itu kepadanya. “Aku sudah berusaha untuk tidak mengatakannya. Tapi aku pernah berada di posisimu, dan akhirnya dibuang. Kau mungkin akan bernasib sama sepertiku. Siapa yang tahu.”
Sara tiba-tiba berdiri, meninggalkan halte bus, lalu masuk ke dalam mobilnya. Sebelum pergi meninggalkan Hinata, Sara memberikan kertas seperti denah, dan dia cukup menghafal tata letak denah tersebut, yang tidak lain adalah apartemen Naruto.
Bukankah tidak mungkin ada ruang tersembunyi di antara pantri? Yang seharusnya memiliki tangga agar bisa sampai ke tempat terisolasi tersebut. Hinata nyaris tidak bisa percaya apakah memang ada ruang aneh seperti itu di sebuah apartemen mewah. Hinata mencoba tidak termakan omongan Sara. Perempuan itu mencoba menghasut dirinya, memprovokasikan sesuatu yang tidak diharapkan Hinata.
Namun tidak semudah bahwa dia dapat mengabaikan ucapan Sara. Hinata penasaran, kemudian dia datang ke apartemen Naruto tanpa diminta. Karena dia tahu kata sandi rumah itu, Hinata masuk dengan hati-hati menuju ke ruangan yang seharusnya dikatakan oleh Sara itu benar ada di sana.
Rumah itu tidak gelap, sepatu Naruto juga ada di antara genkan. Hinata punya segudang alasan untuk mengungkapkan alasan mengapa dia ada di sini sekarang kalau saja dia ditanya mengenai kedatangannya yang tiba-tiba.
Pada bagian pantri, Hinata menemukan meja besar di tengah-tengah dapur. Ada engsel di bagian pinggir meja kabinet, sesuatu yang terlihat aneh dan tidak pernah dia pikirkan jikalau Sara tidak mengatakannya.
Selama ini, Hinata pikir itu adalah tempat menyimpan anggur. Hinata mendorong alas meja kabinet, menemukan memang ada tangga menuju ke sebuah ruangan yang gelap. Tangan Hinata sangat dingin, lalu berpikir mengapa dia harus marah? Dan mengapa dia harus ketakutan?
Kepalanya berputar memikirkan kemungkinan bahwa seluruh kekacauan yang diterimanya selama ini karena ulah pria itu.
Hinata menarik pintu tersebut, lalu dia hati-hati menuruni tangga itu. Sambil menyorotkan cahaya dari ponsel, Hinata memerhatikan setiap koleksi aneh dan tidak masuk akal di ruangan itu.
Terdapat banyak foto beserta alat-alat untuk mencetaknya. Kamera super mahal, alat perekam suara, manekin yang mengenakan gaun malam. Hinata menutup mulutnya agar tidak berteriak menemukan semua foto tentangnya sampai bertelanjang, lalu papan transparan yang dipenuhi oleh nama-nama seseorang seperti Kiba, Tamaki, Tenten, bahkan keluarganya.
“Apa-apaan ini?” Hinata kembali menaiki tangga untuk pergi dari sana. Sebelum dia ketahuan oleh Naruto.
Begitu berhasil keluar dari apartemen itu, Hinata terjatuh karena kakinya sangat lemas. Ia ingin pergi ke pos polisi terdekat, tapi apakah dia bisa melaporkan apa yang dialaminya? Kengerian itu terus menyerangnya sampai-sampai dia tidak sadar menangis di tengah jalan. Beruntung bahwa jalanan di kawasan elite itu tidak terlalu banyak orang berlalu-lalang, sehingga ketika Hinata sudah tenang, dia duduk di toserba dekat sana untuk membeli minuman.
Naruto melirik meja yang didesain khusus itu terbuka tanpa ditutup, kemudian dia melihat ke arah pintu. Barulah dia menyadari bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam.
Naruto pun menuruni tangga itu, melihat kertas-kertas foto itu berantakan. Ia tak menyadari, karena selama menyusup, dia sedang berada di kamar mandi.
Melihat ada yang tidak beres, dengan buru-buru Naruto pergi ke ruang kerja, menyalakan komputernya, mencari tahu siapa yang menyelinap masuk selama dia tidak waspada. Dia pikir itu mungkin saja pencuri, tapi bagaimana bisa apartemen seketat ini kebobolan. Sepertinya dia perlu mengganti tenaga keamanan kalau sampai itu terjadi. Tapi ketika Naruto baru duduk di kursi, dia melihat Hinata mengendap-endap masuk untuk mencari ruang gelap yang terisolasi. Tidak ada yang tahu kecuali dia dan Sara.
“Sialan!”
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ODIOUS ✔️
FanfictionDark Romance Rate M Cinta yang keliru selalu buta. Cinta selalu membuat gembira, tak kenal hukum, bersayap dan tak terbatas. Dan cinta mematahkan semua mata rantai logika, sehingga mungkin bagi Hinata Hyuuga, William Blake tak pernah salah menulisny...