15 : Jeno vs Jisung.

3.9K 604 94
                                    

"Berikan aku bud satu."

"Maaf kita belum buk—" segala yang ingin Changbin tolak otomatis tak sepenuhnya tersampaikan. Laki-laki yang sedang memasukan botol-botol minuman ke dalam lemari pendingin itu segan untuk marah dan tetap menyodorkan satu bir putih ke hadapannya. "Apa yang terjadi padamu? Kau seperti tidak baik-baik saja."

Changbin menarik sebuah kursi. Duduk di hadapan pelanggannya itu. Mereka terhalang sebuah meja bartender. Pemuda yang mengenakan kaos berwarna gelap itu membantu menuangkan alkohol berserta es cube ke dalam sebuah gelas kecil. Dia tidak pernah melihat Jung Jeno kacau siang bolong seperti sekarang apalagi dengan sengaja tetap memakai kacamata hitam di dalam ruangan.

"Kau tidak punya kekasih tapi kulihat-lihat sering sekali galau."  Lanjut Changbin mencoba mencairkan suasana dengan bercanda.

"Memangnya kenapa kalau aku galau? Aku juga manusia." sahut Jeno malas lalu menyesap alkohol yang sudah di tuangkan Changbin ke gelasnya.

"Ku pikir selama ini kau siluman monyet."

"Brengsek," umpat laki-laki berkacamata itu.

"Hahaha kidding, Jen." Changbin mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dia mengambil sebuah kotak yang di bungkus kantung berwarna pink di bawah meja bartender lalu pemuda itu membukanya ke hadapan Jeno. "Jadi apa yang membuatmu ingin mabuk siang-siang?"

Perhatian lelaki berkacamata tertuju pada isi kotak bekal milik Changbin. Bekal komplit yang bahkan jauh lebih rapi dari milik seorang murid taman kanak-kanak. "Bagaimana perasaanmu saat dulu Ibumu tiba-tiba kembali, Changbin?"

Matanya yang terhalang benda gelap mulai di selimuti cairan haru. Jeno jadi teringat bagaimana awal mula mereka saling mengenal. Saat sekolah dasar, Changbin menjadi satu-satunya murid yang tidak pernah membawa bekal ke sekolah. Dia dan kakaknya sempat hidup di panti asuhan lantaran mereka di bohongi sang Ibu lalu di tinggalkan ditempat itu. Tapi tiga tahun lalu Jeno mendengar bahwa Ibu Changbin sudah kembali setelah wanita itu menelantarkannya hampir bertahun-tahun.

"Aku marah." Changbin menguyah tomat cherry sambil membayangkan kejadian tiga tahun lalu. "Aku marah hingga meneriakinya jika aku tidak membutuhkan Ibu seperti dia. Tapi aku langsung sadar setelah di nasehati oleh Noonaku. Apa yang kita rasakan selama bertahun-tahun hidup di panti asuhan, mungkin belum sebanding dengan kehidupan yang Ibuku jalani selama dia jauh dari kami. Dia pernah mengalami KDRT saat kami masih tinggal bersama, Ayahku meninggalkan hutang yang sangat banyak dan Ibuku memutuskan pergi ke China untuk melunasi hutang si brengsek itu. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk tetap membencinya."

Mata Changbin Tiba-tiba berkaca-kaca. Terdengar dari tarikan nafasnya yang tersendat-sendat laki-laki itu mulai merasakan apa yang kini di rasakan oleh Jeno. Sakit yang tidak terurai. Jeno menarik kotak tisu ketika melihat Changbin mulai menunduk sambil menikmati bekalnya dalam diam.

"Kau sudah melakukan hal yang tepat." Jeno menepuk bahu lelaki itu untuk sedikit menenangkan. "Aku sampai detik ini masih berpikir, apa yang harus aku lakukan jika sewaktu-waktu aku menemukan Ibuku. Apa aku harus bahagia karena akhirnya keinginanku untuk bertemu dengannya terwujud? Atau aku harus marah seperti yang kau lakukan."

"Jen.." Panggil Changbin dengan mata serius. "Masalah kita berdua jelas berbeda. Aku sempat membenci Ibuku karena waktu kecil aku belum mengerti segala penderitaan yang dia alami. Kau jangan seperti aku, bagaimanapun juga seorang Ibu selalu punya alasan yang baik saat memilih pergi dari kehidupan anaknya."

The HeirsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang