Bab 8

109K 10K 176
                                    

"Maaf kalo aku ngerepotin," ucap Almira memecah keheningan di dalam mobil.

Radit menoleh sekilas, tapi tidak menanggapi ucapan Almira. Ia memilih fokus dengan kemudinya.

"Gimana aku harus manggil kamu?" tanya Almira lagi. Ia berusaha untuk mencari topik obrolan bersama dengan Radit. Kalau ia diam saja, rasa sakit di kakinya malah semakin terasa.

Radit lagi-lagi menoleh ke samping kiri. "Maksudnya apa?"

"Aku ngerasa kalo usiaku lebih muda daripada kamu."

"Terus?"

"Gak mungkin kalo aku manggil kamu cuma pake nama aja."

"Aku nggak keberatan."

Almira berdecak. "Tapi aku nggak bisa," sahutnya.

"Terserah kamu mau manggil apa."

"Kak? Mas? Abang?" tanya Almira beruntun. "Kamu orang mana? Aku mau nyesuain panggilan yang pas buat kamu," tanyanya lagi.

Tiba-tiba Radit merasa pusing mendengar Almira yang terus menerus bertanya padanya. "Panggil Mas aja," ucapnya dengan datar.

Mendengar itu, Almira langsung menyunggingkan senyumnya. Mengobrol bersama dengan Radit membuatnya lupa dengan rasa sakit di kakinya. Walaupun Radit menanggapinya sangat singkat lengkap dengan ekspresi datarnya. Sepertinya laki-laki di sebelahnya tidak ada niatan untuk terlibat obrolan panjang dengannya.

Beberapa menit suasana di dalam mobil tampak tenang. Almira sudah tidak berusaha mengajak Radit untuk mengobrol lagi. Begitu yang awalnya dipikirkan oleh Radit. Tapi perkiraaannya ternyata salah besar. Perempuan itu hanya bertahan beberapa menit sebelum akhirnya kembali melayangkan pertanyaan untuknya.

"Mas, kenapa kalo setiap aku senyumin nggak pernah dibales?" tanya Almira penasaran. Jujur saja hal ini cukup menganggunya. Sepertinya ia tidak pernah melakukan suatu kesalahan yang membuat Radit sampai harus tidak membalas senyumannya. Padahal tetangganya yang lain akan balas tersenyum jika ia senyum ke mereka.

"Buat apa?"

"Kan wajar kalo tetangganya senyum, terus dibales senyum juga," sahut Almira menatap Radit yang sedang sibuk memgemudi.

"Hmmm ... gak penting," gumam Radit tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Almira mengelus dada pelan. Baru kali ini ia menemukan seorang yang seperti Radit. Sangat minim ekspresi dan suara.

Sesampainya di rumah sakit, Radit berinisiatif mengambilkan kursi roda untuk Almira. Ia mendorong Almira ke IGD dan seorang petugas medis menanyakan keluhannya. Almira menjelaskan secara singkat sebelum dibawa ke dalam.

Radit duduk di kursi tunggu selagi menunggu tetangga sebelah apartemennya diperiksa oleh dokter. Ini pertama kalinya ia terlibat urusan tetangganya. Selama tinggal di apartemen, tidak pernah sekalipun ia mau berurusan dengan tetangga-tetangganya. Dan kini ia harus berurusan dengan Almira. Perempuan cerewet yang seringkali membuatnya pusing.

Radit memang bukan tipe orang yang bisa berbasa-basi membuka obrolan dengan orang lain. Ia hanya akan berbicara dengan lawan bicara yang memang memiliki kepentingan dengannya. Di luar dari itu, ia lebih suka kesendirian tanpa ada siapapun di sekitarnya. Itulah alasan terbesarnya memilih tinggal di apartemen. Banyak dari mereka yang tinggal di apartemen adalah orang sibuk dan cenderung individualis.

Radit melihat seorang perawat menghampirinya. Ia langsung berdiri dari kursi dan mengikuti langkah perawat itu yang menyuruhnya untuk ikut masuk.

***

Knock, Knock! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang