Tidak peduli

1.2K 80 3
                                    

Kedua tangan seorang pemuda bergerak cepat dengan lihai membuat minuman berbahan dasar kopi menggunakan mesin yang sudah ia gunakan beberapa tahun terakhir. Wangi kopi menyeruak menyebar ke seluruh ruangan. Penampilannya sudah berantakan dan keringat yang menghiasi wajahnya tak menyurutkan semangatnya untuk kembali membuat minuman pesanan para pelanggan. Lonceng yang berbunyi menandakan pintu terbuka pun tak membuatnya mengalihkan perhatian dari kegiatannya. Hingga suara yang sangat familiar masuk melalui pendengarannya, barulah dia mengangkat kepalanya.

"Hyung?"

"Eoh, Jisung-ah. Kau baru pulang? Kau mau--"

"Kenapa hari ini Hyung tidak datang ke sekolahku?" Jisung langsung bertanya ketika seseorang yang dipanggilnya hyung sudah menatapnya.

"Haechan-ah, apa kau sudah membuat vanilla latte?" Panggilan dari salah satu kawannya yang bekerja sebagai pelayan mengalihkan perhatian pemuda itu dari adiknya.

"Ah, mian. Aku akan membuatnya sekarang. Jisung kau duduklah dulu. Hyung akan buatkan minuman untukmu, kau pasti haus, kan?" ujar Haechan kembali sibuk dengan kegiatannya. Mengabaikan pemuda berbadan tinggi yang menatapnya kesal.

Jisung tetap berdiri di tempatnya. Menatap Haechan yang sibuk membuatkan minuman untuk pelanggan. Wajahnya memerah menahan amarahnya, kedua tangannya mengepal kuat. Hyungnya itu terlalu sibuk, sampai terlalu sering mengabaikan adiknya sendiri.

Kemarin Jisung mengatakan pada hyungnya itu untuk datang ke sekolah karena wali kelasnya meminta walinya datang. Tidak ada lagi yang bisa dia minta untuk datang selain Haechan. Tapi, pemuda itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak memperhatikan ucapan adiknya kemarin dan bahkan sekarang pun sama.

"Hyung!" Jisung menghela napas kasar ketika panggilannya tak dihiraukan. Pemuda itu masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Renjun-ah, vanilla latte--"

"LEE HAECHAN!" Teriak Jisung yang sudah terlampau kesal karena panggilannya tidak juga disahuti. Semua pelanggan sampai menoleh kepadanya.

"Apa kau benar hyungku? Chan Hyung, benarkah aku adikmu? Sepertinya kau tidak terlalu peduli denganku," cecar Jisung dengan napas memburu.

"Jisungah apa maksudmu? Apa terjadi sesuatu?" Haechan menatap adiknya bingung.

"Eoh, banyak. Banyak hal telah terjadi padaku dan kau tidak tahu apa-apa."

Haechan menghampiri Jisung, menitipkan tugasnya pada rekannya sebentar. Dia membawa adiknya itu ke belakang. Dia menuntun adiknya duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia.

"Jisung-ah, wae geurae? Kenapa kau berteriak, para pelanggan jadi terganggu." Haechan berdiri menatap adiknya yang menunduk dalam. Sebenarnya dia juga kesal karena tingkah adiknya itu. Tapi, dia masih berusaha untuk sabar.

"Apakah cuma caffe dan para pelanggan yang paling penting, Hyung?" tanya Jisung pelan tanpa mengangkat kepalanya. Kedua tangannya mengepal erat di atas lututnya. Dia benar-benar menahan diri untuk tidak kehilangan kendali lagi.

"Kamu ngomong apa, sih?" Haechan mengerutkan keningnya. Semakin bingung dengan tingkah adiknya yang tiba-tiba berubah tidak kalem seperti biasanya.

"Aku hanya memintamu datang ke sekolah sebentar. Apakah sesulit itu? Apa dengan meninggalkan caffe sebentar kita tidak akan punya cukup uang untuk makan? Apa kita semiskin itu? Hyung tidak pernah peduli padaku bahkan mungkin jika aku mati kau tetap tidak peduli." Jisung mengangkat kepalanya, dengan mata yang sudah memerah dia menatap tajam hyungnya.

"Ya! Kenapa bicaramu melantur. Aku hanya tidak datang ke sekolah karena sibuk bekerja. Kenapa kau semarah itu? Di dunia ini, tidak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan. Memangnya kau putra mahkota?! Sadarlah, kau hanya anak yatim piatu. Kau hanya punya satu orang hyung yang tidak kompeten sepertiku. Apa yang kau harapkan, huh?! Berhenti bersikap kekanakan." Menghadapi sikap aneh adiknya membuat Haechan emosi. Seharian dia lelah bekerja, tiba-tiba adiknya itu datang marah-marah.

Haechan menghela napas panjang mencoba mengontrol emosinya. Melihat adiknya menunduk dalam masih dengan kedua tangan mengepal, dia duduk di sebelah Jisung. "Memangnya ada masalah apa, sih sampai gurumu memanggilku?"

Haechan tersentak melihat bahu lebar adiknya bergetar. Dia beralih berjongkok di hadapan Jisung, mendekatkan wajahnya untuk dapat melihat dengan jelas wajah Jisung yang basah karena air mata. Melihat itu, Haechan membawa adiknya ke pelukannya. Dia menepuk-nepuk punggung lebar milik Jisung.

"Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Aku terlalu terbawa emosi. Maaf," bisik Haechan tepat di telinga Jisung.

"Mereka merundungku, Hyung. Apa aku salah jika membalasnya?"

Mendengar ucapan lirih Jisung, Haechan membelalakan matanya. Dia melepas pelukannya, menatap wajah sembab adiknya. Setelah diperhatikan ternyata ada bekas luka kecil di sudut bibir adiknya. Sudah mengering, sepertinya luka itu dibuat beberapa hari yang lalu. Sungguh, dia tidak menyadarinya sejak kemarin. Atau memang benar yang dikatakan Jisung, dia tidak memerhatikan apapun tentang adiknya itu. Haechan membuka poni yang menutupi kening jisung dan menemukan bekas luka lain di sana. Seperti tergores benda tajam. Juga pelipis kirinya terdapat lebam.

"Siapa yang melakukannya?" Haechan menggeram kesal. Wajahnya merah padam, dadanya naik turun, dia benar-benar marah melihat bekas luka yang ada di wajah adiknya. Rasanya ingin menghajar orang yang telah menyentuh adiknya sekarang juga.

"Dia sering memukulku-- itu tidak masalah dia hanya menyakiti tubuhku. Tapi, kemarin dia menyakiti perasaanku, dia menghina ayah dan ibu yang bahkan orangnya sudah tidak ada di dunia ini. Aku tidak bisa diam saja, Hyung. Dia mengatakan hal buruk tentang orang tuaku juga hyungku. Aku kelepasan. Aku balas memukulnya, tapi dia malah jatuh dari tangga. Sekarang dia di rumah sakit dan orangtuanya menginginkan aku dikeluarkan dari sekolah." Menatap mata Haechan, air mata Jisung kembali mengalir deras.

"Maaf, Hyung. Aku selalu merepotkanmu. Seharusnya aku lebih dewasa. Seharusnya aku bisa menahan emosiku."

"Tidak Jisung-ah. Hyung minta maaf. Aku tidak memperhatikanmu. Aku tidak tahu kau telah melalui semua itu. Mianhae ...." Haechan kembali membawa tubuh adiknya ke dalam pelukannya. "Besok hyung akan pergi ke sekolah. Kau tenang saja, aku akan membelamu sampai titik darah penghabisan."

"Tidak bisa, Hyung. Dia anak dari kepala Jaksa wilayah. Mereka pasti akan melakukan apapun agar aku dikeluarkan dari sekolah." ucap Jisung penuh dengan keputusasaan. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana akhir dari kasus ini. Dia juga sedang menyiapkan diri kalau-kalau dia akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

"Ya, lihat aku! Kau tidak tahu hyungmu yang keren ini? Aku juga mahasiswa hukum-- walaupun tidak lulus. Tapi, kau tahu aku ini punya banyak teman. Aku punya banyak orang yang mau membantuku. Sekali telepon, Jeno Lee pengacara terkenal yang tidak pernah kalah dalam ruang sidang pasti akan membantuku. Renjun, walaupun dia bekerja paruh waktu, ayahnya itu petinggi polisi. Jaemin, hyung gadunganmu itu juga pasti akan membantumu apapun yang kau butuhkan."

Haechan mengusap bekas air mata adiknya sambil berkata, "Jangan khawatir, kau akan baik-baik saja. Mulai sekarang aku akan selalu bersamamu."

"Gomawo, Chan Hyung." Jisung memeluk hyungnya itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Orang yang selalu bisa diandalkan. Orang yang selalu mendukungnya dalam kondisi apapun. Hanya dengan memiliki satu hyung seperti Haechan saja, Jisung sudah merasa sangat beruntung. Dia percaya sepenuhnya kepada hyungnya itu. Semua akan baik-baik saja. Pasti.














07/03/23

Uri Jwi (One shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang