Surga

966 44 3
                                    

Angin sepoi bertiup cukup kencang hingga beberapa helai rambut panjangku menutupi wajah. Aku menyibakkan rambutku pelan sembari membuka kedua mataku yang masih terasa berat. Angin yang kembali tertiup menerpa wajahku dan keheningan disekitar membuatku ingin kembali menyelami alam mimpi. Kembali menyamankan posisi dudukku di bangku panjang ini. Namun, pemandangan sekitar yang baru saja kusadari membuat mataku melebar.

Padang rumput yang cukup luas dengan dikelilingi beberapa jenis pohon bunga yang berbeda tertangkap indra penglihatanku. Sebuah pohon yang cukup besar terlihat kokoh dengan rumah pohon di atasnya. Juga terdapat ayunan dari salah satu ranting yang besar.

Aku mendongak, langit dengan semburat cahaya jingga semakin mempercantik pemandangan ini. Untuk sesaat aku terpana dengan pemandangan indah ini. Hingga sebuah pertanyaan terbesit dalam benakku.

Apa ini surga?

Apa aku sudah mati?

Hingga sebuah tangan besar mengusap kepalaku, membuatku tersadar dan menoleh. Mataku melebar melihat sosok itu.

"Jisung? Kamu juga sudah mati?" tanyaku pada pemuda berperawakan tinggi itu, membuatku harus mendongak untuk menatapnya.

"Hah?" Seseorang yang kuingat masih menjadi kekasihku saat masih hidup itu memasang wajah bingungnya.

Apa dia tidak sadar kalau sudah mati?

Dia duduk di sebelahku, punggung tangannya ditempelkan ke keningku, kemudian beralih menyentuh pipiku. Mungkin mengecek suhu tubuhku. Tapi, aku sudah mati, kan? Untuk apa mengecek suhu tubuh?

"Kenapa? Ini di surga, kan?" tanyaku lagi. Tapi, cowok itu hanya tertawa pelan hingga kedua matanya hampir tertutup sempurna, kemudian tangannya beralih mengusak rambutku pelan. Aku mendesah kesal, dia itu suka sekali mengacak-acak rambutku. Padahal dia juga tahu, rambutku ini mudah kusut.

"Kamu tidak ingat bagaimana caranya bisa sampai di sini?" Dari banyaknya pertanyaan yang kuajukan, dia malah balik bertanya. Meski begitu, aku mencoba mengingat-ingat kembali.

Seingatku, kami berdua pulang bersama dengan mobil yang dikendarai Jisung. Tapi, sebuah kecelakaan terjadi tanpa diduga. Truk di depan mobil kami mengerem mendadak, sepertinya menabrak sesuatu sehingga mobil yang kami tumpangi tanpa dapat dihindari pun menabrak bagian belakang truk itu.

Kupikir kami berdua meninggal karena kecelakaan itu. Setelah kuingat lagi ternyata kami masih baik-baik saja. Hanya saja aku merasa pusing karena kepalaku sempat menabrak dashboard mobil. Ditambah rasa terkejut yang amat sangat hingga seluruh tubuhku gemetar. Aku ingat sempat menangis, tapi entah apa yang terjadi selanjutnya.

"Kamu gemetaran dan menangis karena takut setelah kecelakaan itu. Karena itu aku membawamu ke rumahku. Kamu ingat, aku pernah bilang tempat favoritku adalah halaman belakang rumahku. Jadi, aku membawamu ke sini. Barangkali kamu merasa sedikit terhibur. Sayangnya kamu tetap menangis dan tidak mempedulikan apapun, sampai tertidur," jelasnya panjang lebar.

"Benarkah?" tanyaku menyembunyikan rasa maluku. Konyol sekali, aku malah berpikir kami sudah meninggal akibat kecelakaan itu. Seperti di novel-novel yang sering kubaca, biasanya tokoh yang sudah mati akan tinggal di tempat yang luas dan indah seperti ini lalu muncul di mimpi seseorang yang dicintainya.

Aku ingat sekarang. Pasca kecelakaan itu Jisung melakukan berbagai cara untuk menenangkanku, tapi aku terus saja menangis. Bukannya ingin, tapi aku tidak bisa berhenti menangis. Entahlah, aku selalu takut dengan sebuah kecelakaan. Apalagi aku sempat melihat darah yang mengalir di jalanan tadi. Walau tidak melihat korbannya secara langsung, tapi aku yakin orang itu tidak baik-baik saja. Membayangkannya membuat bulu kudukku berdiri lagi.

Uri Jwi (One shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang