Bekerja keras

958 65 10
                                    

Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda. Bukan hanya rupa, pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar sama satu sama lain mengenai cara berpikirnya. Kita hanya perlu memahami, mencoba mengerti, dan saling menghargai pendapat orang lain. Selama ini aku selalu mencoba melihat dengan sudut pandang orang lain untuk bisa mengerti apa yang mereka rasakan dan alasan apa mereka berpikir demikian.

Tapi, aku tidak pernah mengerti dengan satu hal tentang hyungku. Aku merasa dia sangat terobsesi dengan alat tukar yang kita sebut sebagai uang. Dia bekerja dengan sangat keras untuk mendapatkan uang. Kenapa? Kenapa uang begitu penting?

Aku tahu, dia sangat kesulitan sejak ayah dan ibu pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Sebagai yang tertua dia harus menjadi pengganti ayah sekaligus ibu juga hyung untukku. Aku sangat berterimakasih untuk itu. Bahkan seringkali aku merasa bersalah karena terlalu membebaninya. Tapi, kenapa dia bekerja sekeras itu hanya untuk menghidupi kami berdua?

"Hyung, gwenchana .... Kita bisa--"

"Andwae! Uang itu sangat banyak dan hilang begitu saja."

Aku terhenyak mendengar ucapannya yang menggunakan nada tinggi. Dia tampak sangat frustasi duduk menghadap monitor yang menunjukkan grafik dan tulisan-tulisan yang tidak kumengerti. Katanya dia mencoba membeli saham, tapi sayangnya kali ini harganya turun drastis yang artinya uang yang dia investasikan lenyap begitu saja. Hanya itu yang kutahu.

Perlahan aku menghampirinya, menepuk punggungnya-- mencoba menenangkannya. Namun, sentakan darinya sama sekali tidak kusangka. Dia menolakku. Aku terdiam di tempatku dengan luka tak kasat mata yang tercipta di hatiku.

"Chan Hyung?"

"Jisung-ah, pergilah ke kamarmu--"

"Kenapa uang begitu penting?"

Mendengar pertanyaanku, Haechan hyung menoleh dengan dahi berkerut dalam. "Mwo?"

"Tidakkah bekerja di caffe dan bernyanyi sudah cukup? Kenapa kau mencoba mencari lebih?" Aku sengaja menjeda ucapanku, barangkali pemuda di hadapanku itu mau menjawabnya. Namun, sepertinya dia masih belum mengerti maksudku. "Aku tidak butuh kemewahan. Aku hanya perlu makan dan sekolah. Tanpa les tambahan pun, aku bisa belajar sendiri. Kenapa kau terus mencoba mencari banyak uang? Bukankah semua yang kita miliki sudah cukup?"

"Jisung-ah, kau tidak mengerti."

"Iya aku tidak mengerti. Karena itu aku bertanya."

"Aku hanya ingin hidupmu terjamin. Aku tidak ingin kau kekurangan apapun. Kalau saja aku punya usaha sendiri tanpa bekerja dengan orang lain, setidaknya itu saja aku sudah merasa tenang. Kau harus bisa meraih mimpimu. Aku akan merasa buruk jika--"

"Tidak perlu."

"Hyung tidak perlu merasa buruk untukku. Kau sudah melakukan yang terbaik untukku. Aku tidak akan pernah mengeluh. Aku tidak punya mimpi apapun jadi jangan pikirkan tentang masa depanku. Aku akan melakukan apapun yang bisa kulakukan nanti."

"Bohong. Kau punya mimpi yang tinggi. Kau ingin menjadi ahli astronomi, kan?"

"Mimpi itu terlalu tinggi dan aku sama sekali tidak berniat untuk mencapainya. Aku sudah menyerah sejak lama, aku sudah cukup dengan semua yang kumiliki sekarang. Kenapa hyung tidak bisa merelakan mimpimu memiliki usaha sendiri? Aku yang akan mewujudkan mimpimu, Hyung. Tapi, nanti. Perjalananku masih panjang, tolong berikan aku waktu. Tolong, jangan membebani dirimu sendiri dengan terus merasa kurang."

Huh, mengeluarkan emosi ternyata sangat melelahkan. Membiarkan Haechan hyung bergelut dengan pikirannya, aku meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar. Menuju dapur untuk mendapatkan segelas air. Setelah berhasil menunggaknya hingga tandas, aku segera beranjak menuju kamarku dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang sempit milikku.

Uri Jwi (One shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang