Khawatir

1.3K 101 10
                                    

Suara hentakan sepatu yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan dengan cermin yang membentang hampir menutupi seluruh dindingnya. Meski napasnya telah memburu, pemuda berbadan tinggi itu masih aktif bergerak mengulang gerakan tarian yang sama. Peluh yang membasahi tubuhnya hingga sebagian baju yang ia kenakan basah, tak menyurutkan semangatnya untuk terus menari. Hingga ketika ia melompat kemudian kaki kanannya tidak mendarat dengan baik membuat tubuhnya limbung, barulah dia berhenti.

"Ya! Jisung-ah, kamu tidak apa-apa? Apa kakimu terluka?"

Pemuda berkulit putih yang sedari tadi sibuk berbalas pesan lewat ponselnya lantas berlari panik menghampiri kawannya ketika mendengar suara seseorang terjatuh. Apalagi pemuda berbadan tinggi itu masih berada di posisi yang sama-- tidak lekas bangun saat ia menghampirinya membuat kekhawatirannya meningkat.

"Sudah kubilang, istirahat! Kau sudah berlatih dari tadi. Sekarang waktunya pulang, kenapa kau keras kepala sekali?!" sungut pemuda berkulit putih sembari membantu Jisung bangkit kembali. Kemudian menuntunnya untuk duduk di kursi. Namun, pemuda jangkung itu menolak, dia kembali berdiri.

"Chenle-ya … aku baik-baik saja. Aku hanya ingin berlatih lebih keras supaya bisa tampil lebih baik lagi. Aku harus menunjukkan yang terbaik kepada sijeuni."

Chenle mendudukkan tubuh Jisung dengan sedikit kasar. Dia benar-benar kesal dengan temannya yang keras kepala itu. Sayangnya Chenle lebih keras kepala. Dia tidak membiarkan Jisung pergi kembali berlatih.

"Ya! Park Jisung! Kamu sudah berusaha keras selama ini. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Fans juga tidak akan senang kalau kau melukai dirimu sendiri hanya karena ingin membuat penampilan yang sempurna."

Jisung sedikit mendongak untuk menatap mata Chenle yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan di pinggang. "Karena aku idol! Bukankah idol memang selalu dituntut sempurna? Aku telah memilih jalan ini, jadi aku akan melakukannya. Meski harus mati sekalipun, aku harus-- "

"Sadarlah … kau tidak harus mati hanya untuk menjadi idol. Karena idol juga manusia, tidak ada manusia yang sempurna. Berhenti merendahkan dirimu sendiri. Jangan menjadi serakah hanya untuk memenuhi kesempurnaan. Berusaha keras itu perlu, tapi bukan berarti menyiksa diri sendiri."

"Tapi, tak ada yang bisa kulakukan selain menari. Setidaknya aku harus sempurna saat menari. Karena aku tidak bisa sepertimu yang selalu percaya diri dengan kemampuanmu." Jisung menunduk, kalah adu tatap dengan Chenle. Dari tatapannya, dia tahu temannya itu tidak marah padanya. Dia hanya khawatir. Karena itu ia sedikit merasa bersalah.

"Mwo?" Chenle mengernyit dalam. Tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan pemuda di hadapannya itu.

"Iya, anggap saja begitu. Aku yang hebat dan kau payah. Kau memang payah. Bukan karena kau tidak melakukan pekerjaanmu dengan baik, tapi karena kau tidak percaya pada dirimu sendiri." Chenle meninggalkan ruangan dengan langkah lebar. Diiringi tatapan bersalah dari Jisung.

***


Dengan langkah lunglai kaki panjang itu melangkah masuk setelah menekan pasword dan berhasil membuka pintu. Langkahnya terhenti ketika netranya menangkap dua orang duduk bersila di atas sofa memegang ponsel masing-masing.

"Ya! Kau melempar bom lagi?!"

"Haha … ini seru."

Keduanya sibuk dengan game di ponselnya hingga tak menyadari kehadiran pemuda jangkung itu. Dia memilih melanjutkan langkahnya tanpa menyapa keduanya.

Menuju dapur, ia membuka kulkas,  meraih satu kaleng cola dan menenggaknya hingga tandas. Setelahnya dia kembali mengamati isi kulkas, barangkali ada sesuatu yang bisa ia makan untuk mengganjal perutnya yang terus berbunyi. Sayangnya tidak ada sesuatu yang bisa ia makan secara langsung. Snack saja tidak cukup dan ia sedang merasa bosan dengan ramyeon.

Uri Jwi (One shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang