Rumah sakit

1.6K 95 4
                                    

Suara dering panjang yang ku hafal berasal dari ponselku berbunyi nyaring. Karena suasana saat ini begitu sunyi, hanya detak jam dinding di kamarku yang terdengar sebelum dering panjang dari ponselku berbunyi. Dengan posisi tidur miring yang tak berubah sedikitpun, aku mengulurkan tangan, meraih ponsel yang kuyakin ada di meja nakas sebelah tempat tidurku. Membuka mata yang terasa berat, kemudian memencet tombol hijau tanpa menghiraukan nama siapa yang tertera di ponsel sebagai pemanggil.

"Ya! Park Jisung!"

Aku mengernyit sembari menjauhkan ponsel yang tadinya kutempelkan di telinga. Mendengar teriakannya aku sudah yakin bahwa itu Chenle, teman sebangkuku. Dia pasti akan bertanya perihal ketidak hadiranku di sekolah hari ini. Aku lupa tidak meminta ijin pada guru pagi ini. Masalahnya sejak tadi pagi, sakit yang mendera kepalaku semakin menjadi-jadi. Sejak sarapan yang tidak berguna karena aku kembali memuntahkannya, tubuhku benar-benar lemas. Hingga aku berakhir tidur seharian di kamar sendirian pula.

"Kenapa kau bolos hari ini?"

"Aku tidak membolos, Chenle-ya .... Aku sakit, jadi tidak-- "

"Kau sakit? Suaramu juga ... apa kau sendiri?"

"Eum, tentu saja. Haechan hyung sudah berangkat kerja bahkan ketika aku baru bangun tidur."

"Aku akan sampai dalam sepuluh menit. Kau ... jangan mati dulu."

Aku mendesis kesal mendengar kalimat terakhir temanku itu sebelum dia mematikan sambungan telepon sepihak. Tapi, walau begitu dialah satu-satunya orang yang sangat mempedulikanku. Dia selalu ada untukku. Dia benar-benar datang sepuluh menit kemudian. Untung saja pintu depan tidak dikunci. Aku jadi tidak perlu repot-repot membukakan pintu untuknya.

"Demamnya tinggi sekali. Kau sudah minum obat?" tanya Chenle setelah mengukur suhu tubuhku dengan termometer yang dia bawa. Katanya sih, beli di perjalanan tadi. Aku heran dia sempat melakukan itu.

"Sudah."

"Tidak bisa begini, kita ke rumah sakit saja." Pemuda itu berdiri dari duduknya. Seperti benar-benar akan pergi.

"Tidak perlu, besok juga sembuh." Memang biasanya kalau aku sakit, hanya butuh satu atau dua hari untuk sembuh. Aku sedikit terharu karena dia sepeduli itu denganku, tapi kurasa rumah sakit terlalu berlebihan.

"Bagaimana kalau tidak?"

"Maka, besoknya lagi," sahutku enteng.

"Kenapa, sih? Kamu sulit sekali diajak ke rumah sakit. Kalau sakit, ya ke rumah sakit." Sepertinya dia geram karena aku keukeuh tidak mau pergi.

"Aku tidak punya uang."

Sebenarnya aku tidak terlalu membenci rumah sakit. Tidak masalah pergi ke rumah sakit dikala sakit. Tapi, permasalahannya adalah aku tidak memegang uang. Membuka uang tabungan rasanya sayang sekali. Meminta pada Haechan hyung, aku sama sekali tidak akan pernah melakukannya.

Dia sudah sangat bekerja keras untuk mencukupi segala kebutuhanku. Aku tidak pernah berani meminta sesuatu yang tidak begitu penting. Di kondisiku sekarang sepertinya rumah sakit bukanlah hal mendesak, aku sudah meminum obat yang biasa tersedia di rumah. Aku yakin besok pasti sembuh. Aku hanya perlu menahannya sedikit.

"Mwo? Kau hanya akan pergi periksa lalu menebus beberapa obat. Tidak butuh uang sebanyak itu. Kesehatanmu lebih penting daripada uang." Chenle mulai mengomel. Apa dia tidak tahu sesulit apa keuanganku? Mengapa di tidak mengerti?

"Tapi, uang itu bisa digunakan untuk keperluan lain. Aku baik-baik saja, sungguh," ujarku mencoba meyakinkannya. Huh, menyebalkan sekali. Aku sedang tidak banyak tenaga, tapi dia malah mengajakku berdebat.

Uri Jwi (One shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang