melt

1.7K 163 50
                                    

"Doyoung, pagi."

Taeyong sejak mata hari baru muncul sudah di dapur, mengobrak-abrik kotak obat yang mereka berdua letakkan di atas kulkas.

Matanya bahkan gagal menangkap bayangan Doyoung dengan statis, seluruh pandangannya berputar hebat dan tubuhnya terhuyung kesana kemari.

"Taeyong?" Doyoung menghampirinya, "Sakit? Nyari obat apa?"

"Obat demam, tapi ga nemu."

"Udah sarapan belum?" tapi Taeyong bisa dengar suara Doyoung yang khawatir menyapanya, "Balik ke kamar sana. Gue bikinin sarapan, ya? Tapi, obatnya gue beliin agak siangan, gapapa? Gue ada kelas. Duh- oh bentar, gue minta tolong minta Johnny aja yang beliin."

"Dia juga ada kelas."

Taeyong duduk di kursi meja makan.

"Udah, lo berangkat aja. Gue uda minum vitamin tadi, jadi uda enakan," ucap Taeyong, "Kita juga belum belanja, gaada stok bahan makan."

Doyoung menghela nafas pasrah.

Apa yang Taeyong bilang, benar adanya.

Doyoung kemudian pegang tangan Taeyong, dan panas langsung menyambar kulitnya. Dia bantu papah Taeyong masuk kamar, dia paksa Taeyong agar mau dia kompres dulu sebelum berangkat kuliah. Dia tidak bisa mampir ke apotek karena sudah mepet jam masuk, jadi mau tidak mau akan dia berikan obatnya pada Taeyong setelah kelasnya berakhir nanti.

Itu berarti— empat jam lagi.

Tidurnya sama sekali tidak nyenyak.

Teh buatan Doyoung cukup bantu nyamankan badannya walau tidak lama dan harusnya kini dia pesan makan untuk mengisi perutnya namun dia terlalu lesu untuk sekedar raih ponselnya.

Doyoung sudah berangkat dari tadi dan dia gagal tenggelam ke dalam alam bawah sadarnya. Pikirannya masih berisik, sekuat apapun dia pejamkan mata selalu berakhir terbuka lagi dan memandang kosong ke langit-langit kamarnya.

Sampai dia dengan password pintun apartemennya dibuka, dia cuma sanggup menolehkan kepala seraya menebak kiranya apakah itu Doyoung atau Johnny yang tengah bawakan dia obat.

"Taeyong?"

Tapi, suara yang Taeyong dengar berbeda, bukan keduanya.

Badan Taeyong kaku—mungkinkah sakitnya separah itu? Sampai dia berhalusinasi mendengar seseorang yang sejak kemarin gagal absen dari pikiran?

Haruskah dia segera ke dokter?

Dia dengar berisik kantong plastik dari kejauhan.

Dia dengar derap langkah kaki mondar-mandir di apartemennya.

Apakah sekarang maling tengah lihat barang-barang mereka dan tengah menimang yang mana yang akan dirampas?

Semoga, si Maling tidak masuk kamarnya.

Haruskah dia pura-pura jadi mayat?

Takut bukan main menjalar dalam dirinya saat Taeyong dengar pintu kamarnya diketuk pelan-pelan. Dia tahan nafasnya dan siap pura-pura meninggal daripada dibunuh maling yang tengah berada dalam aksi mereka.

Tangan Taeyong mengepal kuat, sekuat dia pejamkan matanya dan tahan nafasnya.

"Taeyong?"

Namun, lagi dia dengar suara yang sangat tidak ingin dia sapa.

Demamnya benar-benar bikin dia gila. Bisa-bisanya menghayal sampai dengar dengan nyata suara yang terus terbayang di kepalanya, bahkan sampai rasakan kehadiran yang jadi obat dari gilanya degup jantungnya.

CUPID'S | JAEYONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang