24 | come closer

943 115 20
                                    

24 | come closer

--

Hea terbangun dengan tubuh yang terasa seperti terjepit. Perlahan, matanya mulai terbuka, sejenak agak buram, hingga akhirnya dia mencoba mengerjap untuk menjernihkan penglihatannya. Awalnya Hea tidak menyadari kondisinya saat ini, hingga akhirnya sesuatu yang melilit pinggangnya bergerak dan semakin menjepitnya. Sontak Hea melebarkan matanya. Dia melirik ke bawah dengan cepat, lebih tepatnya pada lengan seseorang yang saat ini sedang melingkari tubuhnya.

Tuhan, apa-apaan ini.

Hea memutuskan untuk bergerak, mencoba melepaskan diri. Meski agak sulit karena pemiliknya sedang tidak sadarkan diri saat tengah memeluknya dengan erat, pada akhirnya Hea dapat melepaskan diri dan bernapas lega.

Rasanya ingin marah, tentu saja. Hea membiarkan Jimin memeluknya tadi malam karena dia sangat membutuhkannya untuk menenangkan dirinya sendiri, tapi bukan berarti dia akan terus membiarkannya sampai pagi. Jimin seharusnya segera melepaskannya setelah tahu dia tertidur tadi malam.

"Ada apa?" Suara serak khas Jimin tiba-tiba terdengar, membuat Hea sedikit tersentak di tempat. Akibat terlalu asyik dengan pikirannya, Hea tidak menyadari bahwa ternyata pemuda itu juga ikut terbangun oleh gerakannya.

Hea menatap Jimin yang juga sedang menatapnya dengan mata setengah terbuka. Alisnya berkerut bingung, sementara bibirnya yang montok mengerucut. Kelihatannya lucu, tapi Hea tidak berniat menyuarakannya.

"Itu. Tadi kau memelukku erat sekali. Aku tidak bisa bernapas." jawab Hea dengan jujur. Wajahnya berubah cemberut. Apalagi saat melihat reaksi Jimin yang hanya terkekeh.

"Kau seharusnya tidak melewati batas." tambahnya, mencoba memperingatkan.

"Ah ya, maaf. Apa itu artinya aku hanya perlu memelukmu secara normal, ya? Dalam batasan? Baiklah. Aku mengerti."

Hea melotot. Alisnya berkerut. Padahal bukan itu maksudnya. Tidak melewati batas, maksudnya Jimin seharusnya tidak memberinya sentuhan langsung. Namun, melihat Jimin menutup matanya lagi dengan perasaan damai, tiba-tiba Hea merasa tidak nyaman untuk memarahinya. Jadi sambil menghela nafas, dia menyerah. Hea memutuskan bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.

Dibilasnya seluruh wajah dengan air dingin yang menyegarkan. Tak lupa juga menggosok gigi sekaligus mengeringkan wajah menggunakan handuk kecil di wastafel.

Hea berhenti sejenak, mengamati wajahnya yang mulai membengkak sejak kemarin. Pipinya yang tadinya tirus karena sering telat makan, mulai tampak menggembung. Seperti dia benar-benar tumbuh subur sekarang. Menyadari hal tersebut, bukannya senang, Hea justru merasa khawatir. Apakah dia harus senang atau sedih, dia tidak bisa memutuskan sama sekali, karena bagaimanapun juga perubahan yang terjadi pada tubuhnya saat ini adalah karena dia sedang hamil. Sesuatu yang sejujurnya hampir saja dilupakannya.

Hea menghela nafas, memutuskan untuk berbalik dan pergi dari sana. Dia melihat Jimin masih dalam keadaan yang sama. Tertidur sempurna dengan lengan di atas dahi. Hea kemudian berjalan ke jendela, lalu mendorong tirai agar sinar matahari di luar bisa menerangi ruangan. Dan karena itu juga, Jimin membuka matanya lagi. Terbangun oleh sinar matahari yang langsung menerpa wajahnya.

Tanpa rasa bersalah, Hea memilih untuk tidak menanggapi. Gadis itu berjalan keluar ruangan, meninggalkan Jimin yang kini terduduk dengan wajah bangunnya yang khas.

--

Hea baru saja selesai membuat sarapan ketika Jimin muncul di dapur dengan wajah segar. Ia memperhatikan gadis itu dengan intens. Dari kepala sampai kaki. Semuanya tak luput dari pengamatannya. Menyadari itu, Hea menoleh, mulai bertanya-tanya.

All ABOUT US [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang