04 | Mengikat Kesepakatan

3.6K 319 34
                                    

04 | Mengikat Kesepakatan

--

Hujan kembali turun deras di luar ketika Jimin menatap jendela dari kursinya. Jam di ponselnya menunjukkan pukul delapan malam, dan meski waktu terus berlalu, gadis di depannya tetap enggan menatapnya, apalagi berbicara. Rasa kelelahan batin kembali menyusup ke dalam dirinya. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyampaikan permintaan maafnya, namun tampaknya semua usaha itu sia-sia. Pikiran Jimin dipenuhi oleh kekacauan dan bayangan yang melintas acak, membuatnya termenung saat menyesap minuman hangatnya dan menarik napas dalam-dalam.

Jimin menyadari bahwa meminta maaf tidak akan cukup untuk menebus kesalahannya. Malam itu membawa dampak yang besar dan kemungkinan trauma yang mendalam bagi gadis itu. Meskipun begitu, ia tidak berniat menyerah begitu saja. Dengan tekad yang membara, ia meletakkan kembali cangkirnya di meja dan mencoba lagi untuk berbicara, meskipun tatapan dingin gadis itu membuat jantungnya berdegup kencang.

"Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan, tapi... Tolong dengarkan dulu. Malam itu aku benar-benar tidak sadar telah melakukannya. Aku mabuk dan rasanya——"

"Seperti mimpi. Aku tahu." Hea memotong perkataannya dengan ekspresi yang tidak berubah. "Tapi hanya karena kau tahu kau tidak sadar, jangan membuat pembelaan seolah itu bukan salahmu."

"Tidak. Bukan begitu. Dengarkan aku dulu. Aku tidak bermaksud membela diri atau apa. Aku hanya mencoba menjelaskan lagi bahwa yang aku lakukan padamu adalah murni kecelakaan dan bukan atas niat yang disengaja."

Jimin menatap Hea dengan sorot mata penuh rasa bersalah, menghembuskan napas perlahan. Ia berusaha mencari cara lain untuk membuat gadis itu melunak dan menerima permintaan maafnya. Ia merasa tidak bisa hidup dengan rasa bersalah ini selamanya.

"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu memaafkanku?"

Ada sesuatu yang tidak bisa Jimin mengerti dari jawaban yang akan gadis itu berikan. Seolah-olah itu akan menentukan masa depannya. Di satu sisi, ia sangat ingin mendengar jawabannya; di sisi lain, ia sangat khawatir, seolah-olah semua yang ia lakukan saat ini adalah untuk mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Sementara itu, Hea tampak tak terbaca. Gadis itu pintar menyembunyikan perasaannya. Jimin hanya bisa menebak bahwa saat ini Hea sangat marah dan mungkin ingin sekali menghukumnya. Setidaknya itulah yang Jimin pikirkan sampai gadis itu akhirnya membuka mulut untuk menjawab.

"Aku ingin kau mengembalikannya... Satu-satunya hal yang berharga bagiku," jawab Hea dengan tatapan kosong, seolah-olah kata-katanya bisa menyampaikan beban emosional yang dia rasakan.

"Mungkin dengan begitu aku bisa memaafkanmu."


Jimin tahu betul apa yang dimaksud Hea. Satu-satunya hal yang berharga baginya adalah sesuatu yang telah dirampas secara paksa oleh Jimin, dan ia sadar bahwa ia tidak bisa mengembalikannya. Sesuatu itu telah rusak oleh tindakan Jimin sendiri.

"Maaf..." gumam Jimin lirih, merasakan rasa bersalah yang mendalam sekali lagi. Ia menundukkan kepala, terlalu malu untuk menatap wajah Hea. "Aku benar-benar minta maaf."

Ekspresi Hea tetap datar, seolah-olah ia tidak berniat memberikan sedikit pun kesempatan pada Jimin. Rasanya seperti takdir benar-benar melawannya.

"Kalau begitu tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." Hea berkata sambil meraih barang-barangnya, bersiap untuk pergi. Namun, Jimin dengan cepat menahan tangannya, jelas menolak kepergian gadis itu.

All ABOUT US [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang