17 | nightmare

2.4K 215 34
                                    


17 | nightmare

--

Bagai tersambar petir di siang bolong, juga mimpi buruk setelah insiden kebakaran di masa lalu, gadis itu merosot jatuh usai memasuki apartemen. Merintih sembari meremas perutnya yang masih rata, tanpa memperdulikan lagi kondisi wajahnya yang berantakan karena air mata.

Hea menangis dalam diam. Pusing di kepala, kram di perut, dan rasa sakit akibat infus di tangannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sesak di hatinya. Dia benar-benar merasa hancur.

"Ya Tuhan," bisiknya sambil menepuk-nepuk dadanya, berusaha menenangkan diri agar tidak kehilangan kesadaran. Sesak yang dia rasakan membuatnya hampir kehabisan napas.

Hea kemudian bangkit, memutuskan untuk masuk ke kamar dan membuka laci meja, mengeluarkan kotak kecil berisi obat, lalu mengeluarkan beberapa pil dari sana. Tiba-tiba, pikirannya kembali pada kata-kata Yeseul di rumah sakit:


"Kecelakaan yang kau maksud, kapan tepatnya itu terjadi?"

"Aku bertanya untuk memastikan janin dalam kandunganmu tidak ada hubungannya dengan kecelakaan itu!"

"Ya! Dokter yang menanganimu mengatakan kau pingsan di trimester pertama kehamilanmu."

Dia tidak mengerti. Kenapa semua masalah yang datang padanya selalu besar dan menyakitkan, seakan semesta tak ingin membiarkannya hidup damai. Bahkan sejak kecil dia juga harus melewati semua masalah.

Jika sudah seperti ini, kapan dia bisa bahagia? Atau... Apakah itu tidak berlaku untuk manusia sepertinya?

Hea menelan ludahnya dengan getir. Dia menatap obat di tangannya sejenak. Ini bukanlah kali pertama. Sejak kejadian pemuda itu telah mengambil apa yang tersisa darinya, menelan beberapa kontrasepsi darurat telah menjadi suatu keharusan. Namun, Hea tidak pernah menyangka bahwa usaha bisa mengkhianati hasil.

Dia tetap mengandung.

Menyadari bahwa dia gagal mencegah mimpi buruk itu datang, Hea secara refleks menjauhkan obat itu dari tangannya. Melemparnya hingga berserakan di lantai.

Sekali lagi, Hea merosot, lalu menangkupkan wajahnya di tangannya. Menangis sedalam-dalamnya.

"Apa yang harus aku lakukan?" dia bertanya di antara isak tangis.

Beri tahu Jimin tentang ini? Tidak! Hea tidak akan pernah mau melakukan itu. Bayangkan seberapa besar malu yang akan dia rasakan. Meskipun Jimin yang membuatnya seperti ini, tetap memberitahu pemuda itu hanya akan membuatnya merasa lebih rendah. Dia tidak bisa membayangkan betapa memalukannya itu.

Samar-samar, Hea bisa mendengar suara ponselnya berdering di dalam tasnya. Hea menggeleng. Dia tidak lagi memiliki siapa pun di sisinya. Tidak ada yang akan menghubunginya kecuali manajer Lee. Satu-satunya orang yang memiliki nomor ponselnya. Namun, Hea tidak berniat menjawabnya. Buat apa juga? Pria itu bukan siapa-siapa, apalagi saat ini Hea sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun.

Kram di perut membuat Hea meringis. Menyakitkan. Dia ingat belum makan apapun sejak pagi. Tapi apa perlu? Saat kondisinya berantakan seperti ini, perutnya akan tetap menolak semua makanan. Dia pasti akan memuntahkan semuanya. Jadi itu tidak berguna.

Hea kemudian naik ke ranjang kecilnya, memilih untuk berbaring di sana. Air mata terus mengalir hingga membasahi bantal. Hea membiarkan, bersama dengan semua rasa sakit di tubuhnya.

Sudah cukup. Hea memilih menyerah. Biarkan alam bawah sadar mengambilnya. Karena hanya dengan begitu dia bisa tenang.


——

All ABOUT US [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang