02 | Keputusan Ekstrem

4.4K 357 23
                                    

02 | Keputusan Ekstrem

--

(21+)

Angin malam yang sejuk menyapu lembut, sementara bulan purnama menggantung di langit seperti bola lampu raksasa di atas lautan, menerangi pemandangan malam yang memukau. Cahaya lembut dari bulan membentuk cahaya lembut di wajahnya, menyoroti keindahan sederhana gadis berusia 21 tahun ini. Dengan seragam pelayan yang dikenakannya sejak usia 18 tahun, dan kartu nama yang terpasang di sisi kanan dadanya menunjukkan posisinya yang sederhana sebagai room service waiters, ia tampak seperti bagian tak terpisahkan dari malam yang tenang ini.

Di tengah keheningan malam, Hea duduk dengan pikiran yang jauh melayang. Setelah melewati banyak kesulitan dan menerima nasibnya, ia berusaha membangun dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, kesedihan dan rasa kehilangan seolah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Setiap kali ia menutup matanya, kilasan masa lalu yang menyakitkan kembali menghantuinya, seperti api besar yang menyala di langit gelap, sementara bayangan orang-orang yang berjuang untuk melindunginya seolah tak pernah hilang.

Hea, setidaknya begitulah orang memanggilnya, adalah yatim piatu dan satu-satunya yang selamat dari kebakaran hebat beberapa tahun lalu. Sejak usia sepuluh tahun, ia telah hidup tanpa kasih sayang orang tua dan tumbuh dalam keterbatasan di bawah asuhan neneknya yang sudah meninggal. Meski hidup dalam kekurangan, ia terus berjuang meski pekerjaan sebagai pelayan bukanlah cita-citanya.

Menghembuskan napas berat, Hea menghabiskan waktu luangnya di tempat ini, membiarkan dirinya tenggelam dalam pemikiran mendalam, sambil menunggu rekannya yang akan segera datang untuk menegurnya.

"Hea, aku sudah mencarimu ke mana-mana, ternyata ada di sini. Apa sih yang kamu lakukan?"

Hea hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya dari pantulan cahaya bulan di kejauhan. "Mencari udara segar. Aku bosan hanya duduk di ruangan sambil menunggu."

"Tapi dengan kamu di sini, orang-orang jadi kesulitan mencarimu!" Rekannya menatapnya dengan kesal, lalu mendesah gusar sebelum menyerahkan sebuah kartu. Hea akhirnya menoleh dan menerima kartu tersebut.

"Kamar 303," katanya dengan nada keheranan. "Ini sudah kedua kalinya orang yang sama memesan anggur, kali ini dua botol. Aku curiga dia sedang depresi."

Mendengar itu, ekspresi Hea berubah menjadi tercengang. "Lalu kamu mengirimku untuk melayani orang itu?"

"Umm ... ya, memangnya kamu pikir apa lagi? Ini tugasmu," jawab rekannya dengan santai, membuat Hea merasa ingin protes.

"Tapi, kamu kan bisa--"

"Jam kerjaku sudah selesai beberapa menit yang lalu." Rekannya memotong dengan cepat, membuat Hea akhirnya bungkam dan terpaksa menyetujuinya.

"Oke. Aku akan mengantarkannya." Setelah Hea mengatakan itu, rekannya mengangguk puas dan berbalik pergi, mungkin untuk pulang. Hea menghela napas dan melangkah pergi menuju kamar 303.

--

Pada akhirnya, Hea berdiri di sana sambil memandang pintu kamar yang tertutup. Tuhan pasti tahu berapa lama dia berdiri di sana seperti orang idiot. Untuk itu, dengan satu tarikan napas, Hea akhirnya berhasil mengumpulkan cukup keberanian. Tangannya bergerak ke bel pintu, menekannya dengan hati-hati dan mulai menunggu, meskipun tidak ada yang menjawab setelah beberapa saat.

Kali ini dia memutuskan untuk mengetuk pintu lebih keras, berharap seseorang di dalam bisa mendengar suaranya.

"Permisi," mulainya, sedikit gugup ketika tangannya mulai menyentuh gagang pintu. "Apa ada orang di dalam?"

All ABOUT US [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang