Prologue

9.1K 451 38
                                    


Hari keberangkatan

--

Suasana di bandara malam itu masih dipenuhi hiruk-pikuk pengunjung. Meskipun jarum arloji Jimin telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam waktu Korea, keramaian tak kunjung surut. Pengumuman yang meminta para pengunjung untuk segera mengisi tempat tidak tampak mengurangi semangat mereka.

Malam ini, Jimin mempersiapkan diri untuk perjalanan spesial menuju Indonesia. Ia berniat memberi kejutan pada pacarnya, Kim Yeseul, di hari peringatan hubungan mereka. Dengan balutan turtleneck hangat dan celana chino hitam, Jimin tampak mencuri perhatian di antara kerumunan. Beberapa pengunjung mulai mengarahkan kamera mereka kepadanya, momen ini membuat Jimin cepat-cepat mengenakan topi dan masker untuk menyembunyikan identitasnya.

Di sampingnya, pria yang sudah dengan setia mengantarkannya ke bandara berdiri dengan sabar. Ia rela mengorbankan waktunya demi mendukung Jimin, menambah kesan hangat di tengah malam yang dingin dan sibuk ini. Jimin memandang pria itu dengan rasa terima kasih yang mendalam, sebelum akhirnya memfokuskan perhatian pada detik-detik menjelang keberangkatannya.

“Aku akan berangkat sekarang. Kau punya sesuatu untuk dikatakan?” Jimin bertanya sambil memeriksa arlojinya, menunjukkan ketidaksabarannya untuk segera memulai perjalanan.

Manajer Lee, dengan nada suara yang sengaja dipelankan dan tatapan seriusnya, menjawab, “Tidak ada. Hanya saja ... Jangan sampai sakit.”

Suara manajernya yang lembut dan penuh perhatian menciptakan kontras yang mendalam dengan sifat aslinya. Tatapan intens itu membuat Jimin tertawa geli, merasa bahwa ungkapan tersebut tidak seperti dirinya.

“Apa aku tidak salah dengar? Kata-katamu tidak seperti biasanya,” Jimin mengatakan sambil terus tertawa, membuat manajer Lee mendengus dengan sedikit frustrasi. Dengan cepat, manajer mengeluarkan tab yang selalu ia pegang, lalu menunjukkannya kepada Jimin dengan penuh arti.

“Lihat, ada banyak jadwal yang menunggumu. Jadi aku harap kau mau menjaga diri agar bisa kembali dengan sehat.”

Manajer Lee menatap Jimin dengan penuh keseriusan, menekankan pentingnya kesehatan di tengah semua kesibukan yang menanti.

Jimin hendak memprotes dengan alis yang berkerut tajam, namun manajernya sudah lebih dulu memotongnya dengan nada tegas, “Pergilah. Pesawat tidak akan menunggumu untuk merespons kata-kataku.”

Jawaban itu membuat Jimin semakin sewot, “Kau seharusnya tidak menghancurkan suasana hatiku dengan menunjukkan jadwal memuakkan itu.”

Di hadapannya, pria yang tampak menakutkan itu hanya menghela nafas, satu tangan tertanam di saku celananya. Ekspresi seriusnya memancarkan aura kekuatan dan ketegasan, seakan mengabaikan semua keluhan Jimin.

“Kau hanya ingin berdiri saja di sini atau...” Manajer Lee melanjutkan dengan tatapan tajam, seolah menantang Jimin untuk bergerak. Melihat sikap manajernya yang sudah kembali pada setelan awal, membuat Jimin tertawa kesal, lidahnya menggosok giginya dengan frustasi, terlalu muak dengan drama kecil mereka.

“Oke, oke! Aku pergi sekarang,” kata Jimin akhirnya, menyerah pada sikap tegas manajernya dan melangkah pergi dengan senyuman konyol di wajahnya.


Manajer Lee tak lagi merespons, dan Jimin meliriknya dengan sebal. Kebiasaan menghadapi pria yang satu ini sudah menjadi rutinitasnya——sosok yang berbeda dari manajer pada umumnya dengan mulut tajam dan sering mengucapkan kata-kata yang tajam. Kadang, Jimin lebih suka memanggilnya "Paman tua" daripada manajer.

Dengan berat hati, Jimin akhirnya menyeret kakinya dan bergegas menuju tempatnya. Setelah memasuki kabin pesawat dan menemukan kursi, dia segera mengatur posisinya dengan nyaman, lalu menghubungkan headphone untuk menikmati musik.Beberapa detik kemudian, saat jari-jarinya tanpa sengaja membuka aplikasi obrolan di ponsel, Jimin teringat pesan yang dikirim Yeseul beberapa hari lalu. Pesan itu terasa berbeda dari biasanya——berbeda dari pesan-pesan yang sering gadis itu kirimkan sebelumnya.

Jika sebelumnya Yeseul sering meminta Jimin untuk tetap menghubunginya hingga larut malam, maka sekarang Jimin yang menempati posisi itu. Hanya saja, Yeseul yang sekarang selalu membuat alasan. Gadis itu terus mengatakan tidak bisa dihubungi karena ingin menghabiskan banyak waktu luang bersama keluarganya. Itu terdengar seperti mencari alasan, memang. Tapi Jimin masih optimis seolah-olah itu tidak masalah, meskipun dia tidak akan menyangkal bahwa hatinya sedikit tergores karena itu.

Jimin tersenyum kecut, matanya mulai menutup perlahan saat ia berusaha keras membujuk kesadarannya untuk segera terlelap. Di tengah suasana pesawat yang mulai sepi, pikiran Jimin masih berkutat pada kerumitan hubungan mereka belakangan ini.

Inti dari masalah yang mengganggu mereka beberapa hari terakhir adalah komunikasi yang terputus dan jarangnya pertemuan. Jimin berusaha menepis ketidakpastian yang menghantui pikirannya. Ia tak ingin membayangkan kemungkinan menghadapi masalah yang sama ketika mereka bertatap muka nanti. Ia ingin percaya bahwa Yeseul masih merasakan perasaan dan keinginan yang sama seperti dirinya.

Meskipun Jimin berusaha untuk tidak terlalu percaya diri, ia tidak bisa menahan perasaannya yang selalu mengarah pada harapan. Ia merasa seperti terjebak dalam perangkap emosional yang tak memberinya banyak pilihan.

Dengan tarikan napas yang dalam, Jimin berusaha memanjakan dirinya dalam kenyamanan malam dan memeluk keyakinan terakhirnya, berharap semua akan baik-baik saja saat mereka akhirnya bertemu.

[]

All ABOUT US [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang