02

2.2K 225 4
                                    

Zee menjambak rambutnya secara kasar, membuang napas guna menenangkan pikirannya sendiri.

Sore ini, ia baru selesai kelas. Waktunya untuk menunggu Marsha menghampiri, tadi Zee lihat gadis itu sedang berbincang dengan Ashel di depan kelas.

Hari ini dirinya benar-benar pusing. Rasa kesal, bingung, kecewa, tiba-tiba datang tanpa diundang. Rasanya Zee ingin membenturkan kepalanya ke dinding supaya pikirannya cepat membaik.

Drtt!

Drrt!

Ponselnya bergetar, pertanda ada yang menelepon. Segera ia angkat, dan suara seorang pria mengawali pembicaraan.

"Halo, Azizi?"

Zee mengernyit. "Kenapa, Dok? Ada kemajuan atas kesembuhan Ibu saya?"

"Tidak, Zee. Justru, Ibu anda penyakitnya semakin parah. Ibu anda sempat tidak sadarkan diri tadi siang, dan saya baru menyadarinya barusan. Syukurlah beliau sudah sadar, bisakah kamu datang ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya bicarakan."

Zee menelan ludahnya, keringat dingin bercucuran di pelipis gadis itu. Napasnya tak beraturan, kekhawatiran mulai timbul.

"S-saya akan segera kesana, Dok. Tolong jaga Ibu saya."

"Saya akan selalu menjaga beliau."

"Terimakasih, Dok."

Tut.

Zee matikan telepon itu sepihak.

Suasana hatinya yang sedari tadi buruk, sekarang semakin memburuk ketika mendengar kabar tak menyenangkan dari pihak rumah sakit.

Zee usahakan untuk menenangkan sedikit pikiran dan hatinya sementara ini. Sekarang juga, Zee membulatkan niat untuk pergi ke rumah sakit. Marsha? Biarkan saja gadis itu ikut, waktunya akan lebih lama jika mengantar Marsha terlebih dahulu.

Mata Zee melirik kesana-kemari, berusaha mencari keberadaan Marsha yang tak kunjung datang. Ia berdecak, kemana perginya gadis itu? Tidak mungkin juga Zee meninggalkannya sendiri. Ia takut orang tua Marsha akan marah padanya.

Tak sampai dua menit, Marsha datang dengan berlari-lari. Napasnya kurang beraturan, keringat bercucuran di keningnya.

"Maaf, Kak. Nunggu lama, ya?"

"Naik." suruh Zee tanpa menjawab pertanyaan Marsha. Wajahnya ditekuk dan matanya menajam, membuat Marsha sedikit ketakutan.

"I-iya, Kak,"

Marsha menaiki motor itu, berpegang erat pada bahu Zee. Si pengendara mulai menjalankan motornya, menulusuri jalanan yang penuh dengan kendaraan-kendaraan lain.

Marsha menoleh ke samping, melihat langit sore yang indahnya tiada tara. Matanya terpejam menikmati hembusan angin yang menembus kulit wajahnya.

Sedangkan Zee, gadis itu masih dikelilingi rasa khawatir. Ia tahu bahwa Ibunya sedang tidak baik-baik saja sekarang, pasti wanita itu sangat membutuhkan sang anak saat ini juga.

Berhentilah mereka berdua di sebuah bangunan besar yang didalamnya di penuhi oleh ruangan yang berisikan banyaknya pasien. Zee membuka helm full face miliknya, kemudian menatap Marsha yang kebingungan.

"Sorry, nggak akan lama, kok." ucap Zee sedikit tak enak. Marsha mengulas senyuman tipis, mengangguk sebagai jawaban.

"Lo. . . . mau ikut?" tanyanya kemudian.

"Boleh?"

"Sure."

Setelah mendapat persetujuan, Marsha akhirnya ikut masuk kedalam rumah sakit. Selama ia berjalan, Marsha hanya mengikuti kemana arah jalannya si gadis di depannya ini. Sesekali ia melihat beberapa pasien yang didorong di kursi roda, dan ada juga pasien yang sedang dalam proses melahirkan.

Asteria | END.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang