Sudah satu minggu Marsha menjauhkan diri dari Zee. Rasanya hampa, bagaikan makanan tanpa adanya garam.
Zee sendiri bingung, sebenarnya perasaan apa yang ia rasakan terhadap gadis itu? Mengapa dirinya selalu menentang keras hak Marsha untuk dekat dengan Adel?
Apa ini perasaan suka? Atau hanya sebatas cemburu?
Tetapi Zee pernah mendengar, jika cemburu itu tandanya cinta. Jadi yang benar yang mana? Suka, atau cinta?
Huft..
Terhitung sudah lima kali Zee menghela napasnya.
"Lo akhir-akhir ini kenapa, sih, Zee? Gue heran sama kelakuan lo," sahut Olla, mengeluarkan rasa keheranannya terhadap Zee belakangan ini.
Zee lantas menoleh, ia rasa ini saatnya untuk menceritakan semuanya kepada salah satu teman dekatnya.
"Gue bingung, La. Jangan-jangan gue suka sama dia?" Olla mengernyit mendengar jawaban Zee.
"Suka? Maksud lo?"
Zee mengangguk pelan. "Jarak gue sama Marsha merenggang, itu juga gara-gara gue. Awalnya, gue nggak suka lihat interaksi Marsha sama Adel, tapi disitu gue masih sabar. Anehnya setelah gue berhenti antar-jemput dia, Marsha makin deket sama Adel. Disitu gue muak, dan gue akui kalau gue cemburu..."
Zee melanjutkan penjelasannya hingga sampai di akhir cerita. Karena jika ditulis kembali akan terlalu panjang.
Olla mengangguk, mulai memahami tentang apa yang dijelaskan oleh Zee.
"Itu lo beneran suka, sih, Zee."
Balasan dari Olla membuat Zee mencelos. "Hah? Nggak mungkin, mana bisa gue suka?"
Olla mendengus kesal, memukul kepala Zee dengan buku. "Bisa, lah, anying. Seiring berjalannya waktu, dua orang yang terikat dalam kedekatan pasti salah satunya bakalan punya perasaan yang lebih. Dimana-mana juga gitu, lo ketinggalan zaman?"
"Bukan gitu maksud gue, La,"
"Apa? Lo mau ngelak? Nggak bisa, Zee. Perasaan nggak ada yang tau, dan lo nggak bisa maksa buat nggak suka. Kalau kenyataannya lo suka, lo terima." agak tak menyangka jika Olla bisa serius seperti ini. Zee pun pasrah, wajahnya berubah lesu.
"Mending ungkapin semuanya, setelah itu lo bisa tenang. Masalah di terima atau enggaknya bisa ditanggung sendiri."
Zee menggeleng. "Gue nggak bisa kayaknya,"
"Kenapa enggak?"
"Gue takut di tolak. Gue nggak suka di tolak."
Olla menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya. "Lo nggak selamanya harus di terima, Zee. Hanya karena lo nggak suka ngelakuin satu hal, dan lo jadi nggak mau bisa ngelakuin hal itu. Terima apa adanya, jangan bersembunyi di balik kata 'nggak suka',"
"Awalnya gue nggak suka main drum, tapi gue coba lawan rasa nggak suka itu. Masalah bisa nggak bisa gue lupain, yang penting gue nyoba. Dan dengan gue nyoba, pada akhirnya gue bisa." Olla memegang bahu milik Zee, tersenyum. "Lo juga harus lakuin itu."
Zee mematung sejenak, sampai pada akhirnya bibir gadis itupun ikut terangkat, terpatrilah senyuman disana.
"Tumben,"
"Tumban tumben, dikasih solusi malah bikin gue emosi." Zee tertawa renyah melihat wajah Olla yang kini telah berubah.
"Makasih, ya, La. Tapi soal ungkapin perasaan, gue undur dulu. Gue masih ragu sama perasaan gue sendiri," Zee mengusap tengkuknya.
"Iya, itu terserah lo. Tapi gue saranin jangan kelamaan, takut di ambil orang. Apalagi Adel, dia bisa cepet luluhin hati orang," Olla menyibakkan rambut. "Gue setuju lo sama Marsha. Gue bakal minta Oniel sama Lulu buat bantuin lo, oke?"