04

1.9K 227 4
                                    

Satu minggu berlalu, setelah kepergian Ibunya Zee menjadi tidak bersemangat untuk menjalani aktivitas kehidupan. Sehari-hari ia menetap berbaring di kasur, tak berniat untuk pergi ke sekolah sama sekali.

Rumah tingkat dua yang sederhana, yang dulunya ditinggali oleh Zee dan Ibunya, sekarang hanya ditinggali oleh Zee seorang diri. Suasana sepi, sunyi, senyap, sudah melekat hebat di rumah itu.

Sedih rasanya ditinggalkan oleh sesosok wanita hebat dalam jangka waktu selama-lamanya. Zee harus terbiasa untuk hidup sendiri, apa-apa sendiri, semuanya sendiri. Meskipun Zee belum bisa menjalani kebiasaan yang harus dibiasakan itu.

Apalagi tiga hari yang lalu Zee tiba-tiba demam, makin malas-lah ia beraktivitas.

Zee demam akibat terlalu banyak menangis dan kurang asupan nutrisi bagi tubuhnya. Bayangkan, sejak satu minggu ini Zee hanya memakan camilan sederhana dan sama sekali tidak ada niat untuk memakan nasi. Bagaimana tidak demam, coba?

Dalam keadaan mata terpejam, Zee berusaha bangun.

"Awh," Zee merintih ketika membangunkan diri, kepalanya terasa berat dan pusing. Zee memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali.

"Gue cuman pengen minum susah banget, astaga," keluh Zee.

Gadis itu membuka mata, matanya memanas seketika. Ya Tuhan, bisakah sembuhkan Zee sekarang juga? Rasanya sudah tidak kuat. Ia jadi sulit untuk beraktivitas.

Cklek.

Zee mendengar ada yang membukakan pintu. Tetapi tetap pada pendiriannya, Zee tak mau membuka mata. Takut rasa panas itu kembali menyerang.

Langkah kaki mendekat menghampiri Zee, agak was-was karena Zee takut jika penjahat sedang menjajah isi rumahnya. Namun, suara lembut yang masuk kedalam telinga seketika menghapus pikirannya.

"Kak Zee sakit?" baiklah, Zee tahu pasti siapa pemilik dari suara ini.

Marsha.

"Ngapain kesini? Sama siapa?" tanya Zee tanpa menjawab pertanyaan Marsha.

"Di antar pak Yadi. Aku tanya, kamu sakit?" Marsha mengulang kembali pertanyaannya, kini dengan suara yang agak ditinggikan.

"Iya."

"Kenapa nggak bilang aku?"

"Handphone gue mati, lagian gue juga nggak punya nomor punya lo."

"Kan bisa Kak Ashel,"

"Males."

Sesudah mendapat jawaban singkat itu, Marsha tak menanggapi lagi. Gadis itu beralih menyentuh kening milik Zee.

Panas. Panas sekali.

"Kak, kamu panas banget. Udah makan belum? Minum obat?" cecar Marsha khawatir.

"Berisik, nggak usah peduliin gue. Tujuan lo kesini mau apa?" Zee bertanya balik, masih dengan mata yang terpejam. Nada bicaranya sungguh ditekankan, membuat Marsha agak takut.

"A-aku. . . .aku kesini mau nemuin kamu doang, nggak lebih. Soalnya aku khawatir sama kamu, kamu udah nggak masuk sekolah satu minggu. Ya udah aku mutusin kesini aja." Zee cukup mendengarkannya, tak memiliki niat untuk merespon.

"Kak Zee belum makan, ya? Mau aku bikinin bubur?" tawar Marsha, yang mendapat gelengan kecil dari Zee.

"Males makan gue."

Marsha berdecak, menatap Zee dengan kesal. "Kalo gini nanti kamu nggak sembuh-sembuh, Kak!"

"Siapa peduli? Gue mau susul mereka."

Asteria | END.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang