Lagi dan lagi pak Arya berhasil meramaikan suasana. Membuat acara makan malam menjadi sangat hangat dan penuh tawa. Terlebih bagi Marwah. Dia sampai memukul-mukul lengan suaminya. Tanpa sadar, tentu saja. Sedangkan, Rega sengaja membiarkannya.
Namun, lama kelamaan Rega merasa pegal juga. Otot yang sang papa singgung sore tadi jelas bukan jaminan dia kebal serangan. Apalagi dilakukan hampir setengah jam. Dan sayangnya si pelaku adalah perempuan, makhluk paling perasa, yang mana sering menafsirkan banyak hal tanpa melibatkan logika. Bisa dipastikan jika Rega menghindar atau justru terang-terangan menegur Marwah sekarang, perempuan itu akan tersinggung. Jadi, saat tangan Marwah teracung hendak menggebuk lagi, Rega lekas menangkapnya. Lalu digenggam di atas meja, bermaksud menahan dia.
Akibatnya Marwah menoleh seketika. Lewat ekor mata, Rega bisa melihat wajah terkejutnya.
"Rega aja setuju," bela pak Arya.
Mama berdecak. "Rega mah kalau semisal Papa ngusulin melihara dinosaurus juga setuju."
"Serius, Ma. Lumayan, tahu. Di sini kan komplek elite, penjual dari luar enggak boleh masuk. Kalau kita buka warung kelontong pasti laris."
"Siapa yang mau jaga?"
"Mama." Pak Arya menyeringai.
"Toko material gimana? Papa sanggup nge-handle sendirian?"
"Kan bisa nyari pegawai."
Menggeleng, Mama menolak defensif. "Enggak. Mama enggak setuju. Udah ah, Pah, jangan maruk."
"Ga, bantuin Papa lah. Bujuk si Mama."
Rega tersenyum sangsi. "Enggak berani, Pa."
Cemberut, papa beralih pada Marwah. "Mar, tolong dong." Mata papa berkedip-kedip, merayu. "Biasanya kalau perempuan sama perempuan gampang luluh."
Marwah gelagapan. Tak tahu dengan maksud pak Arya. Banyak bagian cerita terlewatkan karena waktu di sekitarnya seolah berhenti hanya gara-gara tangannya ada di dalam kungkungan telapak tangan besar Rega. Rega yang sadar pun segera menyelamatkan Marwah dengan menggantikan dia menjawab Papa.
Pukul 21.00, semua orang masuk ke kamar.
Rega langsung lengket bersama laptop di meja kerja. Kedua telinga disumbat earphone, jemari menari di atas ketikan sambil sesekali menggumamkan penggalan lagu yang sedang didengarkan. Sementara, Marwah duduk bersandar punggung di atas dipan. Bermain gawai. Kadang kali melirik punggung Rega di seberang.
Setelah kejadian di meja makan, laki-laki itu tak banyak bicara. Lebih dari biasanya. Namun sikapnya sangat tenang. Menegaskan bahwa sesi menggenggam tangan termasuk dalam skenario sandiwara. Hingga Marwah tak memiliki hak untuk memprotes tindakan Rega, meskipun sempat dibuat tak bisa berkata-kata. Maksudnya, bukankah saat di mobil laki-laki itu menolak untuk berinteraksi fisik dengannya? Dan, bohong jika Marwah bilang, dia tidak merasakan sensasi tersengat listrik bertegangan rendah saat kulitnya bersinggungan dengan kulit Rega. Apalagi, selama ini Rega konsisten untuk tidak sembarangan menyentuh Marwah tanpa menghalang lengan baju.
Tiba-tiba, Rega memutar kursi saat Marwah masih menatapnya. Buru-buru Marwah membuang wajah. Berdeham deham salah tingkah.
"Besok kita meeting sama pak Kuncoro jam berapa?" tanya Rega biasa saja. Mengabaikan fakta jika tadi dia memergoki Marwah yang tengah menatap sedemikian rupa.
"Jam dua," jawab Marwah, kikuk.
"Di?"
"Resto Binar-Ra."
"Kamu sudah pesan mejanya?"
"Sudah."
Percakapan berhenti di sana. Rega sudah kembali mesra bersama pekerjaannya. Dan Marwah memilih tidur. Posisi membelakangi Rega sambil memeluk guling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Saktah Pertama
Romance#Romance_isalmi (Ending) (CERITA INI MASIH EKSKLUSIF DI WP.) Menikah karena perjodohan bukan alasan untuk saling menyakiti. Bagi Rega dan Marwah, tidak cinta berarti tidak pula membenci. Sebab, lawan rasa cinta adalah tidak peduli. Jadi, saat Marwah...