part 16.

1.3K 137 2
                                    

"Mau masak apa, Pak?"

Rega berbalik. Mendapati Marwah yang mendekat sambil meregangkan badan ke atas hingga lengan piyama hitamnya merosot sampai ke lekukan siku. Sejenak, Rega dilanda bingung untuk sekadar memberi respon. Hanya berdiri bak patung, memerhatikan sang istri yang kini duduk di kursi tinggi meja bar, menyangga sebelah pipi dan menguap menahan kantuk. Entah kesiangan atau memang sengaja bangun siang karena sedang berhalangan.

Jika boleh jujur, pengakuan Marwah di mini market terasa sangat mengganggu pikiran. Namun, Rega tak memiliki keberanian untuk menyinggung lagi. Apalagi setelah Marwah memilih diam dan sekarang bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

"Mar?" panggilnya, ragu.

Mendongak lesu, Marwah menyahut sekadarnya. "Hm."

Rega membuka mulut. Sayangnya ingatan tentang Marwah yang gampang tersulut lebih dulu berkelebat, membuat kalimatnya otomatis tertahan di tenggorokan.

"Bukan apa-apa," kata Rega, memilih mengurungkan niatnya meminta kelanjutan perihal masalah kemarin yang belum usai.

Marwah mengangkat alis tinggi-tinggi saat Rega berbalik badan, dan kembali sibuk bersama aliran air kran guna mencuci sayuran segar. Aneh, pikir Marwah. Lantas mengedikkan bahu tak acuh.

Lalu, Rega meletakan sarapan sehatnya ke meja. Duduk di seberang Marwah. Laki-laki itu sibuk mengaduk isi mangkuknya.

"Saya nanti mau ke gym." Rega menginfokan tanpa mengalihkan perhatian dari mangkuk. "Kamu jadi ke rumah Ibu?"

"Jadi."

"Berangkat jam berapa? Saya antar."

"Terserah Bapak aja," jawab Marwah, tak mau repot berpikir lebih dulu.

"Saya kira kamu bakal nolak." Cetus Rega.

Melipat tangan di atas meja, Marwah merebahkan kepala di sana. Matanya berkedip berat.

"Kalau Bapak mau bahas hal yang berat-berat, mending tunda dulu, ya. Aku lagi males banget."

Rega mengangkat wajah, memandang Marwah.

"Aku bisa nebak isi pikiran Bapak," sambungnya.

•••

Menghela napas dalam, Marwah mengayun kaki keluar dapur. Wajahnya yang semula mendung dibuat se-sumringah mungkin. Benar. Kebahagian ayah dan ibu tidak bisa ditawar dengan apa pun. Mendengar tawa mereka adalah imbalan mahal atas sandiwara yang sedang Marwah lakukan. Dan Rega juga agaknya paham. Terbukti dengan senyum yang sekarang sedang bertahta di bibirnya, meski senyum itu tak sampai ke mata.

"Ada apa nih, kayaknya seru?" Marwah duduk di samping Rega, memangku tumbler merah muda berisi air putih yang tadi Rega minta untuk bekal olahraga. Entah, padahal dia bisa membeli sendiri di luar. Lebih praktis. 

"Ayah barusan cerita tentang masa kecil kamu," sahut Rega.

"Oh. Yang rambut aku kebakar gara-gara main api? Atau aku yang terjun ke empang pak Haji pas main sepeda?"

"Bukan keduanya."

"Terus?" Marwah menoleh ke arah Rega.

Rega tersenyum tipis. "Rahasia."

"Ih, curang." Bibir Marwah mencebik. Dia mengangsurkan Tumbler ke arah Rega. Setelahnya mewanti-wanti agar tak lupa dibawa pulang, seolah botol tua di tangan laki-laki itu adalah barang bersejarah yang sangat berharga. Hingga Ibu dan ayah tak kuasa untuk tidak tertawa. Ditambah karena Rega yang hanya terdiam patuh sembari mendengarkan.

"Ini kado dari Ayah di ulangtahun kamu yang ke enam?" Rega menyimpulkan.

"Iya. Makanya enggak boleh sampai ilang."

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang