part 5.

1.8K 157 5
                                    

Beberapa tahun lalu ...

Marwah mengangkat tas di atas kepala guna menadah gerimis, berlari kecil melintasi halaman dan berhenti tepat di depan pos satpam. Lalu tersenyum pada sang pacar.

"Ge ...."

"Buruan. Nanti hujan lagi." Sela laki-laki itu, masam.

Bibir Marwah kontan merapat. Geo melepas jaket bomber hitam, diangsurkan pada Marwah untuk merangkapi kemeja cream-nya yang basah. Lantas memakai helm sebelum menunggangi motor satria kesayangannya.

Tanpa kata, Marwah naik ke boncengan setelah jaket dikenakan, memegang kemeja putih Geo di bagian pinggang dengan segan. Entah apa yang sudah terjadi. Namun, jelas sekali jika Geo sedang tak dalam mood bagus. Mungkinkah karena lama menunggunya tadi? Marwah mengalihkan mata ke samping, memerhatikan pejalan kaki yang berseliweran dengan payung masing-masing.

Tak lama, motor Geo memasuki area parkir cafe langganan mereka. Marwah turun setelah Geo mematikan mesin kendaraan. Mengekor laki-laki itu yang lebih dulu masuk ke dalam.

Geo duduk di dekat jendela lebar, langsung menyibukkan diri bersama gawai di atas meja. Marwah tak mengusik. Memilih langsung menempatkan diri di kursi seberang. Lalu dia teringat jas hujan yang terlipat rapi di dalam tas. Mau tak mau Marwah bangkit dan menghampiri si pemilik cafe.

Tante Mita. Perempuan berusia 12 tahun lebih tua dari Marwah, tetapi selalu nampak awet muda dengan T-shirt putih polos dan rambut kuncir kuda.

"Dua cappucino sama dua pastry. Satu gurih, yang satu manis?" tebak tante Mita, tersenyum penuh semangat.

Marwah tertawa. Dua tahun lebih menjadi pelanggan setia di cafe ini membuat menu pesanannya seolah sudah ditandai. "Hafal banget ya, Tan."

"Iya, dong." Tante Mita menulis di secarik kertas sambil berdiri. Bertanya, "ngomong-ngomong, gimana interview-nya Geo? Keterima?"

"Belum tanya, Tan," sahut Marwah sambil mengoprek isi tas. Mengeluarkan jas hujan yang kemarin Geo pinjam, menyerahkannya begitu tante Mita selesai berbicara singkat pada pelayan. "Ini, Tan. Makasih, ya."

Tante Mita menerimanya. Disimpan ke laci meja kasir. "Eh, ya, Mar. Tante udah cerita belum yang lowongan kerja di bank? Barangkali Geo mau ngajuin surat lamaran."

"Bank apa?"

"Bank swasta. Buat bagian customer service kalau enggak salah. Yah, meski gajinya belum seberapa, tapi lumayan, lho, misal keterima. Daripada nganggur. Iya, kan?"

Tak langsung merespon, Marwah menoleh ke arah Geo di meja paling belakang. Laki-laki itu masih sibuk bermain gawai. Sesekali melempar poni depannya yang jatuh kusut di dahi. Marwah menghadap lagi ke arah tante Mita dan berujar, "coba, deh, nanti aku obrolin sama Geo. Semoga aja dia mau."

"Nah, bagus itu." Tante Mita mengangguk-angguk, setuju. "Alamatnya deket sini, kok. Besok ke sana aja biar lebih jelas."

"Iya, Tan. Ya udah, aku ke meja dulu. Sekali lagi makasih untuk jas hujannya dan info barusan."

"Sama-sama. Ditunggu ya, pesanannya."

"Siap."

Marwah berbalik badan. Melewati beberapa meja untuk sampai ke tempat semula. Dia melepaskan jaket Geo, ditaruh di atas pangkuan.

"Ge?"

Si empunya nama mengangkat pandang.

"Tadi Tante Mita bilang, ada loker di bank deket sini. Posisi yang dicari di customer service."

"Terus?" responnya, tak suka.

"Siapa tahu kamu minat."

Geo meletakan ponsel. Punggung bersandar ke belakang. Air wajahnya berubah lebih keruh.

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang