part 7.

1.7K 143 0
                                    

"Assalamualaikum!" Seru Marwah, melangkah masuk ke rumah. Di belakangnya, si kembar Aliyah dan Aisyah mengikuti sambil membawa masing-masing dua keresek berisi belanjaan.

Ibu keluar dari dapur. Mengelap kedua tangan menggunakan daster merah bermotif bunga yang dikenakan. Lalu membiarkan Marwah menyalaminya.

"Ayah ke mana, Bu?" tanya Marwah, celingukan.

"Lagi keluar ikut Mas Rega," sahut Ibu.

"Ke?"

"Lihat rumah kalian." Ibu mengambil alih kresek di tangan Marwah.

"Rumah?" Marwah menautkan alis tak mengerti.

Mengangguk, ibu bergerak menghampiri Aliyah dan Aisyah di ruang tamu. Kedua gadis itu meletakan bawaan di meja. Kemudian pamit pergi ke kamar untuk mendinginkan badan. Sementara, Marwah mengekori ibu seperti anak kecil.

"Rumah apa, Bu?"

"Lho, Mas Rega emang enggak cerita kalau dia udah punya rumah sendiri?" Ibu menoleh. Memandang Marwah heran.

Marwah terkesiap. Antara kaget karena Rega tidak pernah mengatakan apa-apa sebelumnya, juga bingung menanggapi pertanyaan penuh curiga ibunya.

"E ... Ya," jawab Marwah akhirnya. Ragu-ragu. Lantas mengambil alih lagi keresek belanjaan di tangan ibu. Buru-buru melipir ke dapur untuk menghindar.

Alis Ibu bertaut, semakin keheranan. Praduga pun mulai mencuat di kepala. Ada yang aneh, pikirnya. Lalu beliau menyusul Marwah yang menghilang di balik korden. Ikut berjongkok di depan kulkas yang dibuka, membantu Marwah mengeluarkan berbagai sayur dan buah-buahan di dalam kresek.

"Ini cabe sekilonya masih 35 ribu, Mar?" tanya Ibu, menimang bungkusan plastik bening berisi cabai rawit dan kriting.

"Itu dapat 30 ribu di kiosnya bu Salimah."

"Oh, udah turun berarti." Meletakkannya ke bagian paling bawah lemari es, bu Laras melanjutkan, "Mas Rega suka pedes enggak, si, Mar? Hari ini rencananya ibu mau masak sambal ati."

"Eng ...." Marwah menipiskan bibir. Untuk kedua kalinya dibuat bingung mencari jawaban. Selama menjalani proses perkenalan, Marwah jarang sekali, bahkan hampir tak pernah makan bersama Rega. Kecuali saat menemui klien di restoran. Itu pun bukan serta merta untuk mengisi perut, melainkan sebagai teman berbincang. Seperti kentang goreng, desert, atau hanya minuman ... Marwah menelan ludah getir. Tak ada jawaban atas pertanyaan sang ibu. Rega terlalu saing untuk dirinya. Andai Geo yang sekarang menjadi suaminya, sudah pasti Marwah mudah menyebutkan menu kesukaan lelaki itu.

"Mar ...."

Suara salam ayah dan Rega mengalihkan perhatian ibu, menyelamatkan Marwah yang sudah mati kutu.

Ibu bangkit. Menuju ke ruang tamu. Senyumnya mengembang semringah, memberikan tangan kanannya kepada sang menantu.

"Mar!" panggil ibu, lantang. "Suami kamu pulang ini."

Tak ada sahutan.

"Marwah!"

Masih diam.

Ibu berdecak pelan. "Kebiasaan ni si Marwah."

"Bu, enggak apa-apa." Cegat Rega saat bu Laras hendak berbalik masuk. "Biar saya saja yang nyamperin Marwah. Mungkin dia enggak denger. Lagi di dapur, kan?"

"Iya, di dapur."

Mengangguk, Rega pamit beranjak. Di meja makan, Marwah sedang duduk sambil menangkup wajah. Beberapa buah dan sayur berserakan di depan pintu kulkas yang terbuka lebar.

Rega cekatan mengutip bahan pangan tersebut. Dimasukan ke tempat masing-masing sebelum menempatkan diri di kursi seberang. Derit kaki kursi yang ditarik membuat Marwah menurunkan tangan.

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang