"Gimana?" tanya Rega, memecah hening. Matanya fokus menatap layar laptop di meja. Kacamata anti radiasi bertengger di hidungnya.
"Gimana apanya?" Marwah balik bertanya. Hanya pura-pura tak paham maksud Rega.
"Ajakan Kenzie."
"Kenapa mesti sama aku juga?"
"Saya enggak bisa ninggalin kamu sendirian, Mar." Jelas Rega, berharap Marwah mengerti.
"Kenapa?"
"Status saya bukan lagi lajang."
"Ya, apa masalahnya?" Marwah meletakkan mug coklat panasnya ke meja. Memandang Rega yang duduk di seberang. "Aku ngasih izin, kok. Sans aja."
"Saya enggak mau." Tolak Rega, tetap pada pendiriannya.
"Jadi mau nolak?"
"Tergantung kamu."
Berdecap lidah, Marwah berujar sebal. "Bapak ribet, ih. Tinggal pergi berdua aja sama Kenzie kenapa, si? Atau karena Yasa enggak bisa ikut kalau aku enggak ikut, makanya Bapak enggak mau ikut?"
Rega mengalihkan perhatian ke arah Marwah. Alisnya menyudut, terusik dengan tuduhan Marwah. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Ya, siapa tahu," sahut Marwah, sangsi. "Habisnya alasan Bapak mengadi-ngadi."
"Mengada-ngada bagaimana?" Rega menyahut serius.
"Itu. Enggak bisa ninggalin aku sendiri. Apaan, coba. Emang selama ini aku minta dikeloni Bapak kaya bocah? Kan enggak."
Mendengar jawaban Marwah yang ngawur, Rega yang sempat terlalu terbawa suasa dalam menyikapi, menyemburkan napas kasar. Lalu kembali sibuk membuka-buka file yang harus segera ditandatangani. "Saya bakal bilang ke Kenzie kalau kita enggak bisa pergi." Putusnya, lelah.
"Eh, jangan gitu, Pak!" Marwah mencegah tak terima. "Aku yang enggak enak. Nanti dikiranya aku yang ngelarang Bapak lagi."
"Saya enggak mau maksa semisal kamu keberatan."
"Aku enggak keberatan, pak Rega," balas Marwah, menekankan.
"Kamu mau ikut?" Bunyi klik saat Rega menekan mouse terdengar. Disusul suara ketikan.
Marwah berdecak malas. Menyangga dagu, memperhatikan Rega dengan intens sembari memasang wajah masam. Tidak tahu juga kenapa urusan pergi-pergi jadi sepanjang ini. Padahal, Marwah masih kurang nyaman berada di antara Rega, Kenzie dan Yasa.
"Peran aku apa kalau aku ikut?" tanyanya, terpaksa menuruti permintaan Rega.
"Kamu istri saya. Kamu nemenin saya."
"Beneran? Enggak bakal dikacangin?"
"Ehm."
"Selama di sana, kita enggak tidur berdua di satu kamar hotel, kan?"
Fokus Rega buyar sepenuhnya. Dia memandang heran sang istri di seberang meja.
"Apa? Mau bilang kenapa aku berpikir ke sana?" Marwah bertanya keki. "Pak, plis, jangan naif. Definisi menikah itu ya hidup bersama, kawin dan punya anak."
"Kamu masih ada uzur, kan?" Sahut Rega alih-alih. Nada suaranya kentara sekali kalau dia tersinggung.
Bibir Marwah merapat. Mendadak nyalinya ciut.
"Haram hukumnya, kamu tahu? Lagipula, saya sudah bilang, saya enggak akan minta kamu untuk itu. Seandainya nanti kita terpaksa harus satu kamar, saya akan tidur di bawah atau sofa."
•••
"Itu teman-temannya Rega."
Marwah meletakan pigura berbingkai hitam ke meja kerja Rega. Di belakangnya, Bu Ambar mendekat menghampiri. Lantas membuka laci di nakas di samping Marwah. Mengeluarkan album merah sebesar map. "Di sini ada banyak foto-foto Rega. Mau lihat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Saktah Pertama
Romance#Romance_isalmi (Ending) (CERITA INI MASIH EKSKLUSIF DI WP.) Menikah karena perjodohan bukan alasan untuk saling menyakiti. Bagi Rega dan Marwah, tidak cinta berarti tidak pula membenci. Sebab, lawan rasa cinta adalah tidak peduli. Jadi, saat Marwah...