part 3.

2.3K 198 7
                                    

Marwah mengaduk gelas minuman di meja. Menunggu Gina, rekannya, yang mungkin harus ikut antri memesan makan siang sebab keadaan kantin kantor sedang lebih ramai dari biasa. Terbukti, meja-meja yang disediakan hampir terisi semua. Membuat tempat tanpa tembok ini bising akan obrolan mereka.

Memang, nuansa terbuka sangat pas dijadikan pelarian setelah terkurung di ruangan ber-AC selama berjam-jam. Model bangunan kantin yang serupa saung, atap mengerucut dan sengaja dilebarkan beberapa meter di segala sisi agar saat hujan air tidak terciprat sampai ke teras memberi kesan klasik juga nyaman.

Gina muncul di balik kerumunan, menghampiri Marwah sambil membawa semangkuk soto beserta nasi. Aroma segar jeruk nipis yang menguar sangat kontras dengan kuah kuning pekatnya.

"Enggak mau makan siang lagi, Mar?" kata "lagi" Gina tekankan. Kebiasaan Marwah memang memprihatinkan. Entah karena tidak lapar, atau memang sengaja ingin menjaga bentuk badannya ideal. Yang jelas, wajah dan perawakan Marwah sering disalahpahami orang-orang. Berpikir jika perempuan yang suka melilit ujung jilbab di leher itu masih anak kuliahan. Padahal, usianya justru lebih tua satu tingkat dari Gina yang tahun ini genap 24.

"Males, Gin. Enggak napsu."

"Kena maag baru tahu rasa lo, Mar."

Marwah mengedikkan bahu. Menyedot isi gelas tanpa minat. Bahkan sensasi pahit dari es kopi absen gula tak bisa mendobrak semangatnya hari ini. Pikiran Marwah benar-benar sedang meliar tak karuan. Rasanya pembicaraan mengenai perjodohan sudah di ujung lidah, tetapi tiap kali memiliki kesempatan duduk bertiga bersama Ayah-Ibu, Marwah kehilangan nyali. Berujung dengan penundaan hingga sekarang. Dan jika nanti Geo kembali bertanya kejelasan, Marwah tak tahu bagaimana memberi jawaban. Semua alasan sudah digunakan untuk menenangkan laki-laki itu sejak empat hari ke belakang.

"Mar."

Marwah mengangkat pandang. Dagu Gina yang mengedik memaksa Marwah menoleh ke belakang karena penasaran.

Nampak Rega sedang mendekat dengan setelan jas hitam formal. Kaki beralas sepatu pentofel mengkilapnya melangkah gagah di ubin semen kantin. Marwah berdecak lidah. Memutar kepala kembali ke arah Gina. Ingin kabur saja dari sana, tetapi sadar jika hal itu sama saja mempermalukan diri sendiri. Maksudnya, tak kurang dari tiga menit Rega sampai ke meja, dan kebiasaan laki-laki itu yang tak pernah ragu menyeretnya, jelas akan menjadi bencana. Bisa-bisa satu kantor akan menjadikan mereka berdua tontonan gratis.

"Bisa kita bicara sebentar?" Pinta Rega begitu tiba.

"Em, Mar, gue pamit dulu, ya," kata Gina, kikuk. Dia bangkit, membawa serta semua barangnya. Perempuan berbadan subur itu tersenyum canggung pada Rega sembari menganggukkan kepala, membuat rambut sebahunya terayun pelan. Kemudian melipir ke meja seberang.

Pasrah, Marwah mempersilakan Rega duduk. Rega pun menempati kursi Gina sambil melepas satu kancing jas yang masih bertaut, mempertontonkan kemeja putih pas badan yang dikenakan. Keberadaan laki-laki itu sungguh tak lepas dari mata-mata penasaran para karyawan.

"Nanti pulang, kamu mau ikut mobil saya sama Mama atau naik taxi?" tanyanya, tenang berwibawa.

"Tax ... Tunggu." Alis tebal Marwah bertaut. Matanya memicing menatap Rega. "Mama? Mama pak Rega?"

"Iya."

"Pulang? Ke rumah saya?"

"Ehm."

Marwah mencondongkan badan. Kedua tangan bertumpu meja. Dia bertanya pelan, menekan setiap kata yang dilontarkan seolah Rega adalah anak kecil. "Pak Rega sama Mama Pak Rega mau datang ke rumah saya? Serius?"

Rega menghela napas dalam. Dia tidak suka banyak bicara. Namun Marwah justru memaksanya menjelaskan hal yang sebenarnya tidak perlu penjelasan. "Iya, Marwah. Saya dan Mama saya mau datang ke rumah kamu sore ini."

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang