"Ternyata bener, ya, laki-laki kalau udah ketemu pawangnya jadi jinak," kata Yasa, menyangga dagu di meja kafetaria hotel. "Dami yang tadinya kopi addict sekarang insaf karena Marwah."
Rega tak terusik, fokusnya ada di laptop yang terbuka menemani sarapan kali ini. Sementara, Marwah di sampingnya, tersenyum sekadarnya untuk menanggapi.
"Kenzie juga bakal gitu, kok," balas Marwah hanya karena tak tega membiarkan perempuan itu berbicara sendiri. "Apalagi kalian sebelumnya udah saling kenal lama."
Yasa menegakan punggung ke sandaran kursi. Dilihatnya Kenzie yang sedang mengantri mengambil buah di etalase tak jauh dari sana. Perlahan bibir Yasa melengkung sempurna. Dia kembali menoleh pada Marwah. "Jangan, deh. Aku lebih suka Kenzie yang nyebelin dan rewel. Kalau dia insaf, aku enggak punya temen adu mulut. Kamu tahu, Mar, dulu pas kecil aku sama Kenzie jarang banget akur? Enggak ada hari tanpa saling ejek. Bahkan sampai kuliah pun kalau ketemu pasti kaya Tom and Jery. Dami yang bertugas jadi wasit."
Kepala Marwah mengangguk. Tak terlalu tertarik
Lagi, Yasa menyangga dagu. "Mar, aku udah cerita belum kenapa aku sama Kenzie manggil Rega, Dami?"
Marwah melirik Rega. Laki-laki itu sama sekali tak peduli. Mau tak mau Marwah lagi yang harus menanggapi.
"Belum," jawab Marwah, enggan.
"Jamannya SD-SMP, nama panggilan Rega itu Damas. Tapi, berhubung dia punya pipi kayak gummy, kita ganti nama dia jadi Dami, plesetan Damas yang di-mix and mach sama kata gummy." Yasa terkekeh kecil, geli sendiri. "Cute enggak si?"
"Iya."
"Terus pas di pondok, teman sekamarnya ada yang bernama Dimas. Kan, mirip tuh antara Damas sama Dimas. Jadi, mereka suka salah ngira. Manggil Damas yang noleh Dimas. Manggil Dimas yang noleh Damas. Akhirnya Dami milih pakai Rega buat nama panggilan, sesuai nama panggilannya kalau di rumah."
"Hem." Senyum paksa Marwah tertarik singkat.
"Terus ...."
Yasa terus bercerita panjang lebar, dan terdengar amat sangat tak penting bagi Marwah. Ditambah dia sedang bergulat dengan banyak pikiran yang cukup menguras emosi dan mental. Jadi perlahan tapi pasti, Marwah kian larut dalam kemelut isi kepala, sepenuhnya mengacuhkan Yasa. Dia menatap nanar, tanpa sadar memutar-putar sendok di gelas teh yang masih penuh hingga luber ke meja.
Melihat itu, Yasa menggantung ucapannya. Lantas menelengkan kepala, menelisik wajah Marwah yang nampak murung. Apa Marwah sebal sebab dirinya terlalu banyak bicara? Yasa beralih pada Rega. Rega yang sadar pun membalas pandang sambil menaikan kedua alis, bertanya secara tersirat. Yasa menyeringai, lalu menggelengkan kepala dan menegakan punggung.
Tak lama setelah Rega kembali mematut layar, Kenzie meletakan piring besar di meja dan duduk lagi di sebelah Yasa.
"Dam," panggilnya.
"Hem," sahut Rega acuh tak acuh.
"Kerjanya udah dulu napa, si?" Kenzie berujar keberatan. "Lama-lama sepet aku lihat mukamu nempel di laptop."
"Tanggung."
Berdecak lidah, Kenzie menusuk potongan apel di piring menggunakan garpu. "Marwah apes bener nikah sama orang yang cinta kerja cem kamu." Dumelnya.
Jari telunjuk Rega mendorong bingkai kacamata anti radiasi yang merosot dari hidung. Sama sekali tak mengindahkan ucapan Kenzie. Lagipula, memang siapa yang membuatnya seperti ini? Rega benar-benar sibuk. Itu fakta, bukan alibi. Namun Kenzie tak mau mengerti. Dia kukuh pada spekulasi jika atasan bisa bebas di kantor, padahal justru sebaliknya. Di saat para karyawan pulang ke rumah untuk istirahat, Rega masih harus bekerja. Di saat orang-orang berleha-leha di kasur di hari libur, Rega berkutat bersama laptop di meja. Kesuksesannya sekarang jelas bukan semata-mata keberuntungan. Ada banyak hal yang sudah Rega korbankan, salah satunya waktu untuk bergaul dengan teman sebaya. Sejak di bangku kuliah Rega mulai merancang karier masa depan. Dia sering mengikuti seminar, mencoba membangun relasi dan fokus pada tujuan. Tidak ada istilah nongkrong dalam kamus hidupnya.
"Ya udah, lah. Nanti kita ke pantainya bertiga ...."
"Aku sudah selesai," sambar Rega, menutup laptop. Dia menatap lurus Kenzie yang tadi berbicara. "Mau ke sana jam berapa?"
"Sekitar jam 10.00, gimana?" Usul Yasa.
"Kesiangan, Yas." Kenzie tak setuju. "Panas."
Begitu saja keduanya sibuk berdebat, seperti biasa. Rega menghela napas dalam. Bersandar punggung, dia melipat tangan di dada. Entah kenapa dua temannya tak bisa bersikap dewasa.
•••
"Ikut aku bentar." Yasa menarik pelan lengan Rega agar menjauh dari bibir pantai, meninggalkan Kenzie yang sedang asyik memotret para peselancar.
"Kenapa?" tanya Rega begitu mereka berdiri berhadapan di bawah naungan bayangan pohon.
"Marwah didatangi perempuan. Dia kaya sok akrab gitu, terus tanya-tanya soal Geo. Aku enggak tahu Geo itu siapa, tapi yang jelas, Marwah kelihatan enggak nyaman banget—,"
"Pas kamu nyamperin aku, perempuan itu masih sama Marwah?" tanya Rega, menyambung cepat. Ekspresinya berubah penuh waspada. Kemudian saat Yasa mengangguk, Rega langsung putar badan hendak beranjak. Namun, Yasa lebih sigap menahan lengannya. Hingga, mau tak mau Rega kembali menghadap Yasa.
"Enggak ada masalah, kan, Dam?" Dengan perasaan khawatir, Yasa berusaha memastikan. Takut sesuatu sedang terjadi di antara Rega dan sang istri. "Sejak datang ke Jogja, Marwah murung. Dan sekarang ...."
"Yas," potong Rega. "Aku ke istriku dulu, oke?"
"Tapi Marwah minta dikasih waktu."
Tak peduli, Rega melepas paksa tangan Yasa. Dia gegas menggiring langkah menemui istrinya. Bahkan sesekali berlari seolah tak sabar sampai ke sana. Hingga, angin yang datang dari depan semakin gencar menyibak rambut, dan menghempas kemeja hitam lengan pendeknya yang tak dikancing---mengekspos T-shirt putih ukuran pas badan. Sepatu yang tertinggal di pinggir pantai pun tak diindahkan. Padahal pasir kuning itu terasa menyengat telapak kakinya yang telanjang.
Begitu jarak memungkinkan, Rega memanggil Marwah, "Mar!"
Marwah menoleh, refleks berdiri menyambut Rega yang mendekat sambil sedikit terengah. Mata Rega mengedar ke segala arah, memindai setiap orang yang sedang singgah di saung bermaterial bambu dan beratap daun kelapa. Membuat Marwah bingung dan lantas bertanya, "Mas nyari siapa?"
Rega mengalihkan pandang ke wajah Marwah. Mendapati raut sendunya, Rega tak bisa berkata-kata. Namun, kepalanya dipenuhi tanya. Kira-kira siapa orang yang baru saja menemui istrinya? Apa yang mereka bicarakan?
"Mas? Helo?" Marwah melambai-lambaikan tangan, heran sendiri dengan tatapan lurus Rega. "What happen? Ono opo? Kunaon?"
Bukannya menyahut, Rega justru menuntun Marwah agar duduk lagi ke tempat semula. Rega tahu Marwah sedang berpura-pura seolah baik-baik saja.
"Ada apa?" Rega tak berbasa-basi. Ingat, dia adalah orang yang tidak suka dibuat menduga-duga. Terlebih jika sesuatu itu berkaitan dengan dirinya.
"Ang ... Enggak ada apa-apa." Sangkal Marwah, berusaha biasa saja meski sempat dibuat kaget perihal Rega yang langsung membidiknya dengan kalimat bersoal.
"Siapa yang tadi nemuin kamu?"
"Yasa sama Kenzie mana?" Marwah celingukan, berusaha mengubah topik obrolan.
"Marwah Syaiqila?" Panggil Rega pelan dan penuh tuntutan. Tak tahan jika Marwah terus berkelit. "Ada apa?"
Melipat bibir ke dalam, Marwah tak berani membalas tatapan Rega yang duduk di depannya. Dalam diam, mata perempuan itu mulai menggenang. Tak lama air matanya mulai berjatuhan. Marwah memalingkan wajah, mengusap pipi berkali-kali meski anak sungai justru makin deras membasahi. Sudah sejak semalam dia menahannya. Berusaha tak mengacuhkan kecamuk perasaan yang berjejalan menyesakan dada. Namun kali ini, rasanya sulit sekali. Terlebih setelah bertemu Alma.
"Mar?"
"Aku mau pulang, Pak." Lirih Marwah, melupakan upayanya membiasakan diri memanggil Rega dengan sebutan Mas. "Bapak kalau masih mau jalan-jalan, enggak apa-apa. Aku bisa sendiri."
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Saktah Pertama
Romansa#Romance_isalmi (Ending) (CERITA INI MASIH EKSKLUSIF DI WP.) Menikah karena perjodohan bukan alasan untuk saling menyakiti. Bagi Rega dan Marwah, tidak cinta berarti tidak pula membenci. Sebab, lawan rasa cinta adalah tidak peduli. Jadi, saat Marwah...