Rega dan Marwah duduk berdampingan di dalam mobil yang sedang melaju di jalan besar. Marwah yang sibuk menjamah layar, sementara Rega mengemudi sambil sesekali meliriknya diam-diam.
Keheningan sudah berlangsung sejak di meja makan. Namun tak satu pun dari keduanya yang mau lebih dulu memulai obrolan.
Tiba-tiba, Marwah membanting gawai ke pangkuan. Mendengkus. Wajahnya benar-benar keruh. Bibir mencebik seperti menahan kesal. Padahal lipstik merah yang dioleskan tipis-tipis itu nampak cantik di mata Rega.
"Mar, kamu marah sama saya?" tanya Rega, akhirnya. Tak tahan terus menduga-duga.
"Emang Bapak ngerasa bikin salah?" Ketus Marwah.
Mobil Rega menyalip kendaraan roda empat lain. Kembali pada kecepatan awal saat menemui kepadatan.
"Kamu yang tahu saya salah apa enggak."
Marwah menoleh, menatap Rega skeptis. "Kok dibalikin ke aku?"
"Karena kamu punya hak penuh atas perasaanmu. Mau sedih, marah, kesel, sebal, kecewa, tersinggung atau bahagia, itu kamu sendiri yang memutuskan dan memberi izin. Makanya saya balikin lagi pertanyannya ke kamu. Barangkali sikap saya yang saya kira biasa saja ternyata melukai kamu. Saya kan enggak tahu."
Berdecak, Marwah melengos sambil melipat tangan.
"Mar, saya serius. Kamu kenapa?"
Tak ada jawaban keluar.
"Kamu lagi PMS ...."
"Kenapa si, laki-laki suka sangkutpautin PMS sama sikap perempuan?!" Sela Marwah, kesal. "Emang cuma PMS aja yang bisa bikin mood berantakan? Emang kalau enggak lagi PMS perempuan enggak boleh kesel? Enggak masuk akal!"
Tak tahu harus menanggapi bagaimana, Rega menggaruk sebelah alis menggunakan telunjuk. Mengingat-ingat apa yang sudah dia lakukan. Lalu masalah selimut mencuat ke permukaan. Rega menipiskan bibir. Mendadak resah. Mungkinkah dia sempat menahan tangan Marwah seperti adegan film? Atau mengigau tidak jelas seperti orang mabok? Meski selama ini opsi kedua tak pernah terjadi, tetapi siapa tahu, bukan?
"Enggak ada hubungannya sama kejadian semalam. Dan emang enggak ada apa-apa. Masalah selimut, Bapak kira saya orang kayak apa sampe bisa tega lihat orang kedinginan?" tukas Marwah seolah bisa membaca pikirannya.
Rega menghela lega. "Terus kamu kenapa? Sebentar lagi kita sampai ke kantor. Kamu mau bawa-bawa mood jelek kamu sampai ke meja kerja?"
Marwah menghentakkan kaki ke lantai mobil. Mengerang tertahan. "Bapak kenapa, why, enggak melibatkan saya, sekertaris Bapak, untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terbengkalai karena pernikahan kita? Bapak mau saya makan gaji buta? Apa gara-gara status suami-istri, Bapak jadi segan nyuruh saya lembur? Takut kalau para karyawan mikir Bapak itu suami yang kejam? Iya?"
"Mar, dulu kamu keberatan saat diminta lembur." Rega mengingatkan.
"Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang," kata Marwah, tak mau salah. "Lagian kan Bapak sendiri yang bilang, kalau saya dan Bapak bisa menjalani kehidupan masing-masing di belakang ayah-ibu sama mama-papa. Termasuk di kantor. Jadi, saya mau kita profesional. Enggak terima ya, kalau misal nanti ada yang bilang jabatan saya itu hasil nepotisme."
Rega tak langsung merespon. Menunggu Marwah meredakan emosinya. Meski cara bicaranya tadi terkesan cerewet, bukan seperti pegawai dan atasan, Rega tahu jika Marwah serius.
"Baik. Nanti kamu minta berkas laporan keuangan sama Gina, bawa ke ruangan saya. Periksa proposal yang dikirimkan calon klien dan atur jadwal saya seminggu ke depan. Tanggal 6, saya ada meeting dengan pak Kuncoro di luar. Tolong kamu siapkan semuanya, termasuk terkait lokasi. Oh ya, besok ada karyawan magang. Tiga orang. Dua cowok satu cewek. Tolong kamu briefing mereka. Siangnya ikut saya meninjau pembangunan di Cengkareng ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Saktah Pertama
Romance#Romance_isalmi (Ending) (CERITA INI MASIH EKSKLUSIF DI WP.) Menikah karena perjodohan bukan alasan untuk saling menyakiti. Bagi Rega dan Marwah, tidak cinta berarti tidak pula membenci. Sebab, lawan rasa cinta adalah tidak peduli. Jadi, saat Marwah...