part 20 b.

1.2K 122 5
                                    

"Maaf, My. Mami-Papi enggak bisa ikut. Mendadak mereka harus ke Manado."

Marwah tak langsung merespon. Dia kecewa, tentu saja. Namun mengingat Geo yang tetap datang ke rumah demi menunjukan keseriusannya, Marwah merasa tersentuh. Jadi setelah mengembuskan napas dalam, Marwah pun tersenyum.

"Enggak apa-apa, Ge," katanya. "Lagian ini kan bukan lamaran resmi. Cuma sebatas perkenalan."

Geo menghela lega. Diraihnya tangan Marwah yang bertengger di bantalan sofa. "Makasih, My"

"Sama-sama, Gege."

"Uh ...." Mata Geo melebar. "Aku enggak salah denger? Apa tadi? Gege? Kamu manggil aku Gege, My? Seriusan?"

Marwah tertawa. "Apaan, si, lebay amat. Biasa aja kali."

"Hei, mana ada biasa. Ini pertama kalinya kamu gini, tahu." Geo menyeringai. "Manis."

Tak terduga, ayah Marwah tiba-tiba muncul dari dalam. Mata beliau yang melirik ke arah tangannya membuat Geo buru-buru melepas genggaman. Lalu, tersenyum kikuk sambil mengangguk sopan. "Om," sapanya.

Ayah balas mengangguk. Duduk di seberang Geo. Ibu dan kedua adik Marwah sengaja tak diizinkan ikut menemui. Gelas teh yang ada di depan Geo pun Marwah sendiri yang menyuguhi tadi.

"Mar, kamu ke Ibu dulu. Ayah mau bicara berdua sama Geo."

"Iya, Yah." Marwah bangkit. Sebelum melipir pergi, dia menyempatkan diri untuk menyemangati Geo dengan mengangkat kepalan tangan di samping wajah sambil berkata lirih, "fighting."

Geo melakukan hal serupa. Kekehan kecil dari dua sejoli itu pun mengudara.

Ayah yang diam memperhatikan lantas berdeham. Mengode Marwah agar lekas meninggalkan ruang tamu.

Lalu setelah korden penyekat pintu menelan tubuh Marwah, atensi ayah lekat tertuju pada Geo. Hingga, pemuda itu menjadi salah tingkah. Agaknya memang benar jika bertemu calon mertua adalah hal paling mendebarkan bagi kaum adam. Terbukti, Geo yang biasanya tak gampang grogi kini sudah dibanjiri keringat dingin.

"Sehat, Ge?" tanya Pak Lukman, basa-basi

"Sehat, alhamdulillah. Om sendiri apa kabar?"

"Alhamdulillah, sehat juga."

"Alhamdulillah." Kaki di bawah meja menghentak kecil. Dalam kepala, Geo sibuk mencari topik. Padahal sebelum ini dia sudah beberapa kali bertandang sebagai teman Marwah, dan tak pernah bingung membangun obrolan bersama pak Lukman.

Menyadari gelagat rikuh Geo, pak Lukman tersenyum maklum. "Sudah berapa lama kalian pacaran?"

"Dua tahun lebih, Om."

Pak Lukman mengangguk. "Berarti kamu mualaf pas satu tahun sama Marwah?"

"I-ya, Om," jawabnya, gamang.

"Enggak takut kalau ternyata kalian enggak berjodoh? Maut, rezeki dan jodoh itu rahasia Tuhan. Misal sekarang, di saat kamu dan Marwah sudah seiman, tapi ternyata Tuhan enggak ridho menyatukan kalian, apa kamu enggak akan menyesal?"

Geo menelan ludah. Dia tidak pernah dan tidak mau berpikir ke sana. Yang jelas Geo mencintai Marwah. Pun sebaliknya. Akan tetapi sorot mata serta pertanyaan pak Lukman mengandung makna krusial. Mami-Papi yang menolak datang menyulitkan posisi Geo yang tidak memiliki pegangan. Dan sebenarnya, mereka berdua tak pergi ke Manado. Itu hanya alibi yang Geo buat untuk Marwah. Bukan. Kedua orangtuanya tak pernah membenci Marwah karena keputusannya berpindah kepercayaan. Tidak juga melarang hubungannya. Namun, kali ini mereka tiba-tiba apatis.

"Om yang meminta kedua orangtuamu biar enggak datang." Terang Pak Lukman seolah bisa membaca pikiran Geo.

Sekonyong-konyong, alis Geo bertaut. Dia menatap Pak Lukman tak mengerti. "Maaf?"

"Om minta maaf, Ge. Tapi akan lebih mudah jika Om hanya menghadapi kamu. Om tahu, kamu dan Marwah saling mencintai. Om juga tahu kalau kamu pemuda baik. Cuma, sebagai orang tua, Om harus egois dalam memilih calon suami untuk putrinya. Menikah adalah sarana menyempurnakan agama. Yang mana hal itu hanya bisa direalisasikan jika sang suami paham ilmunya. Karena tujuan akhir dari ikatan suci adalah ridho Yang Maha Esa, bukan semata-mata menghalalkan yang haram saja."

"Saya mualaf bukan karena Marwah, Om," sambar Geo, berusaha tenang dan tak terkesan defensif meski ada rasa tersinggung di sana.

Pak Lukman terdiam. Jujur, beliau sulit melakukan ini.

"Om enggak mempermasalahkan alasan kamu, Geo." Jelas beliau kemudian. "Entah karena Marwah atau sesuatu yang lain, itu urusan kamu. Kamu yang akan bertanggungjawab. Di sini Om cuma bisa melihat apa yang nampak menggunakan mata. Om juga enggak ada niat sedikitpun untuk mengtidakpantaskan kamu bersanding bersama Marwah. Om sadar kalau Marwah hanya perempuan biasa. Namun, justru karena itu, Om ingin laki-laki yang mendampingi dia kelak adalah laki-laki yang paham agama, dan yang bisa mengimbangi dari segi pemikiran, emosi, serta mapan secara mandiri dalam urusan finansial."

Geo kehilangan kata-kata. Hatinya terluka. Amarah mulai bergelung di dada. Baiklah. Dia memang tidak mahir mengontrol emosi. Namun, itu bukan alasan. Mendapati pernyataan seperti ini, siapa yang tidak meradang? Geo akui jika dirinya masih belajar agar tidak bolong melaksanakan kewajiban sebagai muslim. Geo juga mengakui jika dia belum pandai mengaji. Namun, pantaskah dijadikan pertimbangan untuk menikahi seseorang? Pantaskah pak Lukman menilai demikian? Oh, masalah finansial. Bukankah pekerjaan Geo sudah bagus? Keluarganya pun tergolong kaya. Emosi dan pemikiran ... Apa yang kurang dari Geo? Kendati sering berantem bersama Marwah, bukan berarti Geo tak dewasa.

"Om enggak merestui hubungan kalian sebagai pacar. Tapi, Om enggak keberatan kalau kalian mau berteman."

•••

"Yah ...." Tenggorokan Marwah tercekat. Tangisnya sudah pecah sejak kepulangan Geo. Namun, ayah masih bergeming di sofa. Seolah tak peduli dengan rengekannya. Marwah benar-benar mencintai Geo. Dia ingin hidup bersama laki-laki itu dalam bahtera rumahtangga. Memiliki anak, bahagia sampai maut yang memisahkan mereka. "Geo udah berbuat banyak biar kita bisa bersama, Yah. Dia serius sama Kakak."

Hati ayah terasa nyeri mendengar suara lirih Marwah. Tangan Marwah yang menggenggam erat tangan ayah bergetar. Posisinya yang bersimpuh di bawah menggambarkan seberapa tak berdayanya dia, tetapi tetap berusaha mempertahankan hubungannya. Ayah sebenarnya tak tega. Batinnya meronta agar mengalah saja atas pilihan Marwah. Namun, Rega terlalu sempurna. Pemuda itu memiliki semua kriteria yang ayah inginkan untuk mendampingi putrinya. Jadi, begitu Tuhan membukakan kesempatan untuk ayah, berupa Rega yang ditolak oleh perempuan yang dicintai, ayah mencoba mengajukan pinangan untuk Marwah. Meski sampai sekarang Rega belum memberi kejelasan, ayah akan menunggu dengan sabar.

"Salah satu perkara yang membuat orang tua durhaka terhadap anak, adalah tidak merestui pernikahan anaknya hanya karena si calon pasangan enggak punya harta. Padahal dia saleh atau salehah."

Marwah menunduk. Paham arah pembicaraan ayah.

"Ayah enggak lagi ngejudge Geo. Tapi dengan mengajak kamu berpacaran bertahun-tahun tanpa meminta izin Ayah, mengulur waktu untuk datang ke rumah, membawa kamu pergi ke luar kota diam-diam, yang setelahnya bahkan enggak merasa harus menjelaskan ke Ayah, membuat Ayah ragu." Ayah mengusap kepala Marwah. "Ayah ingin memastikan kamu berada di tangan laki-laki yang tepat, Kak. Laki-laki yang bisa Ayah beri tanggungjawab sepenuhnya atas kamu setelah Ayah pergi."

Tbc ...

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang