part 18 b.

1.2K 140 1
                                    

Satu malam menginap di hotel, pagi ini Rega, Kenzie, Marwah dan Yasa sudah berkemas menuju pesantren Nurul Taqwa.

Yasa yang biasanya mengenakan kemeja, celana longgar dan kerudung melilit leher, sekarang nampak anggun dengan gamis hitam dan jilbab lebar. Sementara, Rega serta Kenzie kompak mengenakan koko putih lengan panjang dipadukan celana kain warna toska, serupa anak kembar. Marwah sendiri tampil ringkas menggunakan kulot putih, tunik merah muda dan kerudung kain warna serupa.

Tak perlu waktu lama, mobil masuk ke pelataran pondok putra. Penampakan puluhan santri yang berlalu lalang mendekap kitab di dada menyambut mata.

Rega melengkapi penampilan dengan kopiah hitam sebelum keluar. Lalu dua orang santri datang menghampiri, beramah tamah sebentar dan mengantar mereka sampai ke ruangan pengurus.

Layaknya murid dan guru, Rega dan Kenzie langsung larut mengobrol bersama Ihsan, ustaz muda yang merupakan salah satu pilar penting di pesantren. Yasa di samping Marwah pun demikian. Bedanya, lawan bicara perempuan itu adalah istri Ihsan. Beliau mengenakan niqab, busana serba hitam. Kesan misterius yang ditampilkan berbanding terbalik dengan sifat ramahnya.

Namun Marwah tetap merasa tak nyaman. Selain tak mengenal Yumna dan Ihsan, dia juga segan nimbrung meski Yumna berkali-kali berusaha melibatkan Marwah dalam cerita.

Untung saja, kegiatan itu tak berlangsung lama. Karena mengingat waktu, Rega lekas berpamitan dan bertolak ke pemakaman tujuan.

Dari keadaan pusaran yang sangat terawat, Marwah asumsikan jika yang dikunjungi Rega memang seorang kiai yang cukup berpengaruh di desa. Kelopak bunga mawar yang disekar benar-benar menutup tebal gundukan tanah berumput segar.

Rega memimpin acara tahlil. Meski ini bukan kali pertama Marwah mendengar laki-laki itu mengaji, tapi sepanjang surat yasin dilantunkan, mata Marwah tak lepas memandang kagum suaminya yang berjongkok tepat di depan, saling berhadapan mengelilingi makam secara diam-diam.

Lalu pertanyaan Yasa soal perasaan Marwah pada Rega kembali terngiang. Cinta? Haruskah Marwah mulai belajar mencintai dia?

•••

"Mas?"

Rega mengalihkan mata dari gawai tipis di tangan. Menoleh ke arah Marwah di sampingnya sambil memasang raut heran. Sekarang, mereka hanya berdua di dalam mobil sebab Kenzie dan Yasa sedang membeli sesuatu di mini market. Jadi panggilan Marwah barusan terasa janggal.

"Mau tanya, boleh?" Izin Marwah, sopan. Berbeda dari Marwah biasanya yang pasti akan langsung bertanya.

Mengantongi benda pipihnya ke saku celana, Rega mengangguk.

"Mas punya organisasi? Geria teduh ... Bukan semacam kumpulan sekte pemahaman terlarang, kan?"

Alis Rega berkerut.

"Bukan gimana, Mas." Tambah Marwah, buru-buru meluruskan. "Cuma, aku kenal seorang temen. Dia ikut organisasi-organisasi gitu dan endingnya malah enggak karuan. Tadi aku enggak sengaja denger Mas Rega sama Ustaz Ihsan ngebahas soal geria teduh. Kayaknya kompleks banget. Aku takut Mas Rega ... Kenapa senyum-senyum? Ih, aku serius tahu, Mas." Protesnya.

"Lucu denger kamu manggil saya Mas banyak banget," sahut Rega, masih tersenyum.

Bibir Marwah mencebik. Tak bisakah Rega biasa saja, seolah panggilannya itu hal wajar? Marwah malu. Sungguh. Namun demi membiasakan diri, Marwah harus berusaha melakukannya tanpa embel-embel sandiwara. Bagaimanapun mereka adalah suami istri. Mau tidak mau memang sudah selayaknya seperti ini, kan?

"Tapi kenapa pikiran kamu sejauh itu?" tanya Rega, kembali ke topik pembahasan awal.

"Kayak yang Mas ...." Marwah membasahi bibir. Gara-gara Rega, dia jadi kembali merasa aneh saat memanggil laki-laki itu menggunakan sebutan Mas. Padahal, tadi tekadnya untuk mulai menerima fakta bahwa Rega berstatus suaminya sudah kuat. Lantas dia berdeham kecil. Mencoba lagi. "Kayak yang Mas Rega bilang, sebelumnya kita itu dua orang yang enggak saling kenal. Jujur, banyak hal dari diri Mas Rega yang baru aku tahu. Jadi, ya, khawatir aja. Lagian temen Mas Rega yang kapan hari video call punya jambang lebat banget, dan istrinya ustaz Ihsan, maaf, cuma keliatan mata doang. Untuk aku yang awam itu agak serem."

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang