Marwah menutup map kontrak yang sudah ditandatangani kedua belah pihak. Meeting yang dilakukan di lantai tiga kantor berjalan lancar, dan Rega yang sedang meninjau lokasi pembangunan adalah alasan kenapa Marwah menemui klien sendirian. Namun karena hal tersebut, pembicaraan tadi justru terasa lebih santai.
"Saya senang karena bisa menjalin kerjasama lagi dengan PT Sinar Jaya," ungkap pak Hilman, sang klien. Beliau duduk memunggugi tembok kaca bersama sekretaris laki-lakinya. Tengkuk yang lebih tinggi dari sandara sofa menghangat terpapar cuaca terik dari luar yang memantul lewat jendela, kontras dengan suhu rendah ruang yang sukses menggelitik rongga hidungnya. "Pak Rega itu benar-benar orang yang hebat. Bagaimana beliau sukses dalam setiap proyeknya membuat saya tidak bisa untuk tidak kagum. Padahal usiannya masih sangat muda, tapi kinerja juga pencapaiannya sudah luar biasa."
Marwah yang duduk di seberang pak Hilman tersenyum simpul. "Jika pak Rega ada di sini, saya yakin beliau akan sangat tersanjung dengan pujian Pak Hilman."
Pak Hilman terkekeh. Mengangkat gelas kopi yang sudah dingin sejak tadi.
"Saya dengar pak Rega sudah menikah. Apa itu benar?" tanya pak Hilman, meletakkan gelas ke tempat semula.
"Eng ...." Refleks, Marwah menyembunyikan tangan kanan di pangkuan. Padahal meski pak Hilman melihat cincin di jari manisnya, beliau tidak akan tahu siapa suaminya jika Marwah tidak membeberkan. "Iya, Pak."
"Sayang sekali. Baru saja saya kepikiran untuk mengenalkannya dengan putri saya." Tawa pak Hilman berderai. Renyah. Tipikal orang yang suka bercanda seperti pak Arya. Namun perkataannya barusan jelas bukan lelucon semata.
Lalu sekertaris pak Hilman melirik jam di pergelangan tangan. Berbisik, mengingatkan sang atasan tentang jadwal. Pak Hilman mengangguk paham. Lantas bangkit. Diikuti Marwah.
"Terima kasih atas waktunya, Ms. Marwah." Pak Hilman mengulurkan tangan.
Marwah menjabatnya mantap. "Sama-sama, pak Hilman."
Ketiganya keluar ruangan sambil berbincang.
Sebagai bentuk penghormatan, Marwah mengantarkan pak Hilman sampai depan. Tak disangka, mobil Rega baru saja berhenti di sana. Tak lama orangnya muncul di balik pintu sisi kemudi. Langsung menghampiri pak Hilman.
Asisten pak Hilman mundur memberi ruang. Memilih mendekati Marwah yang berdiri agak jauh di belakang. Tepatnya di undakan teras kantor, bernaung di bawah atap yang menciptakan bayangan lebar sampai menutup seperempat halaman.
"Boleh aku gabung?" Basa-basi Ferdian.
"Oh, ya. Tentu." Marwah bergeser mempersilakan.
Ferdian memposisikan diri di samping Marwah. Kedua tangannya masuk ke saku celana. "Ngomong-ngomong, presentasi kamu bagus tadi."
Marwah tersenyum sungkan. "Biasa aja padahal. Tapi makasih."
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Ferdian terus membangun obrolan. Sementara di seberang, mata Rega diam-diam mengamati Marwah dan Ferdian. Dan entah kenapa, dia merasa gerah saat Ferdian nampak menatap Marwah penuh ketertarikan.
"Saya kecewa pak Rega enggak mengundang saya," kata pak Hilman, bergurau.
Rega mengalihkan pandang, tersenyum tipis. Tak sepenuhnya menyimak perkataan pak Hilman.
"Kapan-kapan boleh lah kita makan bersama." Ajak beliau. "Saya yang traktir."
"Akan saya usahakan."
"Ajak juga istri pak Rega. Saya penasaran siapa perempuan beruntung yang berhasil memikat hati Pak Rega. Bahkan saking penasarannya, saya sampai tanya ke sekertaris Bapak, lho."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Saktah Pertama
Любовные романы#Romance_isalmi (Ending) (CERITA INI MASIH EKSKLUSIF DI WP.) Menikah karena perjodohan bukan alasan untuk saling menyakiti. Bagi Rega dan Marwah, tidak cinta berarti tidak pula membenci. Sebab, lawan rasa cinta adalah tidak peduli. Jadi, saat Marwah...