Pukul 06.00 tepat, satu jam menjelang akad. Kendati jas hitam, celana kain licin warna serupa juga kopiah di atas kepala sudah rapi sejak tadi, Rega masih betah mematut diri di cermin full body. Sementara di luar kamar, ketukan pintu, lengkap dengan seruan agar Rega cepat menyelesaikan persiapan sudah terjadi berkali-kali.Setelah selesai salat subuh berjama'ah, Rega memang meminta waktu dan tak mau diganggu dulu. Beralasan ingin mengambil jeda sebelum ijab-kabul, yang sebenarnya digunakan laki-laki itu untuk memikirkan ucapan pak Lukman beberapa hari lalu, ketika Rega datang ke rumah calon istrinya untuk bertanya terkait seserahan.
Saat itu, Marwah tak bisa menemui Rega sebab sedang menjalani pingitan. Jadilah kedua orang tua Marwah yang turun tangan. Kemudian begitu niatnya sudah tersampaikan, pak Lukman mengajak Rega berjalan-jalan sore ke sekitar komplek perumahan. Membaur dengan anak-anak kecil yang bermain kejar-kejaran.
Mula-mula, pak Lukman berbicara hal-hal ringan seperti bayangan beliau setelah Marwah resmi Rega sahkan, dan Rega hanya tersenyum atau mengangguk sebagai tanggapan. Lama kelamaan, topik sesungguhnya pun muncul ke permukaan. Membuat Rega kontan menyimak penuh keseriusan. Pak Lukman sendiri justru nampak santai, bahkan senantiasa melengkungkan senyuman.
"Marwah selalu mentingin keluarga di atas dirinya sendiri," sambung pak Lukman. Beliau duduk bersama Rega di bangku semen pinggir lapangan, menyaksikan puluhan remaja tanggung yang sedang asyik bermain bola. "Dia bahkan rela melepaskan cita-citanya menjadi dokter setelah tahu Bapak sakit dan perlu biaya untuk berobat. Entah sehancur apa Marwah waktu itu, Bapak enggak tahu. Yang jelas, alih-alih menyalahkan keadaan, dia justru berusaha semakin keras agar pilihan yang enggak sesuai keinginannya jadi sebuah keberhasilan. Terbukti, dia lulus dengan nilai terbaik dan dapat tawaran beasiswa S2 ke salah satu universitas top di Bandung. Tapi dengan alasan ingin mulai menabung untuk operasi jantung Bapak, Marwah memilih bekerja." Pak Lukman mengembuskan napas dalam, bergumam sangat lirih, "Lagi-lagi karena Bapak. Lagi-lagi berkorban untuk ke sekian kalinya."
Lalu tatapannya mulai menerawang langit jingga yang terhalang kabel-kabel listrik. Suaranya kembali normal saat melanjutkan, "itulah kenapa Bapak sangat menyayangi Marwah, Nak. Berharap dengan menikahkan dia sama kamu, rasa bersalah dan ketidakberdayaan Bapak bisa sedikit berkurang." Pak Lukman terkekeh tiba-tiba. "Maaf, ya, kalau Bapak terlalu percaya jika kamu mampu membuat Marwah bahagia."
Rega terdiam. Kali ini bukan karena merasa segan untuk menyambung obrolan. Melainkan beban tanggung jawab yang baru saja pak Lukman berikan cukup membangkitkan keraguan yang coba Rega sangkal. Pertanyaan, bisakah dia mengambil peran tersebut? Mampukan pernikahan mereka berjalan sesuai keinginan semua orang? Atau benarkah dia akan melakukan pernikahan ini meski dengan maksud tersembunyi? Terus berputar. Bahkan sampai sekarang, detik di mana kamarnya dibuka seseorang. Bu Ambar. Yang entah sudah berapa kali naik-turun tangga hingga akhirnya memutuskan langsung mengecek sang putra semata wayang.
"Ma." Rega menoleh pada beliau yang kehadirannya terpantul di kaca.
"Ada apa?" tanya Bu Ambar, mengusap lembut punggung Rega. Menangkap jelas kegundahan di wajah putranya.
Tersenyum, Rega menggelengkan kepala. "Kita berangkat sekarang?"
Bu Ambar mengangguk, mengancing jas Rega yang semula dibiarkan mengekspos kemeja putih di baliknya
"Jadi suami yang baik ya, Ga." Nasehat beliau. "Jangan sekali-kali kamu berani meninggikan suara di depan istrimu. Sekesal, atau semarah apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Saktah Pertama
Romance#Romance_isalmi (Ending) (CERITA INI MASIH EKSKLUSIF DI WP.) Menikah karena perjodohan bukan alasan untuk saling menyakiti. Bagi Rega dan Marwah, tidak cinta berarti tidak pula membenci. Sebab, lawan rasa cinta adalah tidak peduli. Jadi, saat Marwah...