Episode 1

12 0 0
                                    


                                                                                Di Mulai Dari Sini

Mahasiswi cantik bernama Aurum Sekar Widyasari, yang kerap di sapa Arum ini kembali melakoni peran sebagai seorang karyawan di perusahaan ternama di Kota Surakarta. Setelah banyak pertimbangan, dan untuk mengisi keboringanya karena dunia perkuliahan yang ia ambil adalah kelas karyawan jadi liburan semester atau tidak tetap sama saja, menggabut dirumah. Dulu di awal semester ia sempat bekerja di perusahaan lain yang agak dekat dari jantung Kota tempat ia tinggal selama 2 tahun namun kontraknya kerjanya tidak ia perpanjang sebab kuliahnya semakin berat dan membutuhkan konsentrasi lebih juga karena ia habis kecelakaan yang meyisakan trauma dalam berkendara.

Di semester ke tujuh, saat ini, banyak keributan di kepalanya karena menjadi pengangguran ternyata tidak menyenangkan. Jika ia bekerja, ia bisa mendapatkan gaji untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri juga membiayai kuliah agar tidak menjadi beban keluarga terlebih beban untuk Mamanya. Karena memang disini tulang rusuk kesayangannya ialah seorang tulang punggung juga. "Kalau kuliah, ya, kuliah jangan sambil kerja lagi!" bentak Mama Arum padanya. Malam itu dunianya hancur lebur, karena seorang Ayah yang katanya sosok cinta pertama bagi anak perempuannya kembali melayangkan kata-kata yang tak sepantasnya kelaur dari mulut seorang Ayah. "Kalau nggak punya uang, nggak usah sok-sokan kuliah!" itu kata yang terucap, bukan hanya sekali atau dua kali, bahkan satu hal, kemana sosok ayah bagi Arum ketika dirinya terluka oleh terpaan dunia. Hanya figure Mama yang mendekapnya penuh kelembutan yang memperjuangkan segalanya untuk ketiga anak-anaknya. Untung saja, Mama adalah seorang Guru dengan penghasilan tetap setiap bulannya. Permasalahannya bukan dipekerjaan, bahkan aku juga tidak membenci Ayah atas dasar pekerjaannya yang musiman seadanya atau hanya petani atau buruh apapun itu. Satu hal saja, Arum minta, "kalau sekiranya memang tidak bisa memberikan dukungan secara materi, paling tidak tolong dukung aku dengan moral. Aku juga butuh dipeluk seorang Ayah, saat dunia mati-matian membuatku tolol dan dungu." Isak gadis itu disudut kamarnya.

"Yah, anterin ke kantor." Pinta Mama pada Ayah kala pagi hari dengan sabar, karena Ayah sedang tidak ada pekerjaan untuk hari ini. Aku sebenarnya sudah tebangun, namun aku masih mengurung diri dikamar akibat kejadian semalam. Aku terluka parah dengan ucapan yang mungkin bagi kebanyakan tidaklah berarti apa-apa, aku masih terlalu dangkal dalam ego. Terlalu lemah dalam menyaring sebuah ucapan menyakitkan, cengeng dan manja. Itulah sifatnya anak terakhir perempuan bernama Arum. "Gunanya Arum buat apa! Suruh Arum sana!" bentaknya, aku tidak berkutik apapun. Aku hanya terdiam dikamar dan mendengarkan semua percakapan yang ada. "Kalau aku bisa bawa motor sendiri, aku tidak akan sudi merengek diantarkan, Yah." Keluh Mama agak terbata, memang Mama sangatlah penyabar dan berhati kecil seperti yang diwariskan padaku, namun tidak dengan sikap penyabarnya. Aku malah justru seorang pemarah yang handal dan ceroboh seperti Ayahku. "RUM! Bangun, jam berapa ini tidur mulu, sana anterin Mamamu!" amuknya didepan kamar, aku benci suasana pagi ini yang menyebalkan. Aku benci dibangunkan secara teriak-teriak seperti maling saja, dan itu sifat Ayahku sendiri. Selalu seperti itu saat mencoba membangunkan anak-anaknya, kasar, keras dan aku benci itu. Sontak aku memuncak, emosiku diubun-ubun rasanya, kubuka pintu kamar dan membantingnya. "Apa begini cara Ayah membangunkan orang? Ayah pikir Arum ini maling? Punya pekerjaan apa Ayah sebagai tulang punggung hingga bentak-bentak Mama? Apa Ayah ikut andil atas semua yang aku miliki? Nggak! Apa yang sudah Ayah korbankan mati-matian sampai sekarat? Nggak ada, kan?!" amukku tak terelakkan penuh bercucuran air mata. "Lancang kamu!" amuk Ayah yang tidak mau kalah, satu hal yang aku tahu. Ayah acuh tak acuh memang, namun beliau tidak sama sekali main tangan padaku, pada Mama dan pada siapapun. Tapi Ayah adalah pecundang. "Mana sosok Ayah yang katanya cinta pertama terbaik bagi Arum, mana, Yah?!" rengekku ayah hanya berlalu begitu saja tanpa ucap, Mama terduduk lemah menyaksikan perdebatan kita berdua. "Arum, sini." Aku mendekat dan memeluk Mama penuh isakan. "Kalau Ayah terus-terusan seperti ini, Arum nggak akan kuat, Mah. Hiks-hiks." Isakku dalam dekapnya kian menjadi-jadi. "Seperti apapun yang terjadi, yang barusan kamu marahi adalah Ayahmu, jangan diulangi lagi, ya, tolong, Mama mohon sama kamu." Pinta Mama lirih

Sekutip Istimewa Kenamaan YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang