Pulang Bersamaku
Adrian membuntutiku dari belakang, ia memang tidak pernah main-main dengan ucapannya. Pasti selalu seimbang dengan tindakannya. Ini yang membuatku semakin salut dengan kedewasaan dalam pembawaan sikapnya, tanpa melibatkan usainya saat ini.
"Mbak tiap hari lewat jalan gelap ini?" tanyanya menyeimbangkan tarikan gasku, kita beriringan
"Ya begitulah." anggukku
"Satu jam perjalananmu, Mbak?" tanyanya
"Itu kalau nyantai, kalau cepet 40 menit-45menit bisa." candaku
"30 menitpun bisa kamu, Mbak. Bawa motor sendiri udah kayak orang kesurupan gitu, giliran diboncengin ngebut dikit jerit-jerit histeris." ujarnya
"Haha, beda adrenalinnya kalau ngebut sendiri sama pas dibonceng, Ad." eyelku
"Sama aja, sama-sama buat jantung copot." decaknya
"Besok lebih hati-hati lagi, jangan begadang, biar bisa bangun pagian jadi berangkatnya nyantai." pesannya untukku
"Siappp, Pak Lurah." candaku
"Kalau aku Pak Lurah, maukah kamu menjadi Ibu Lurahnya?" tanyanya menanggapi dengan candaan juga
"Duluan." pintanya agar kita tidak berjejer lagi
Di jalan hampir menuju rumahku, ia mendahuluiku dan menghentikan kendaraannya
"Ada apa kok berhenti?" tanyaku
"Sampai sini aja, ya, Mbak." ucapnya
"Loh, kenapa?" tanyaku
"Sungkan sama Mamamu, jam segini apel kerumah camer." balasnya
"Dih, apaan sih. Ayo mampir dulu ngobrol, dirumah ada temen-temenku pada nongkrong tuh." ajakku
"Nggak enak, asli." jawabnya
"Nyalain motormu apa kita tetap disini sampai subuh?" kekehku
"Ya udah disini aja, ayokk." jawabnya yang sama-sama kekeh
"Buruan, nyalain, Ad!" suruhku
"Nggak enak, Mbak. Yakin." jawbanya
"Kaya baru mau main aja, udah sering kerumah juga. Cepetan keburu malem." suruhku
"Ya udah, ayo, tapi kamu duluan." sangkalnya lagi "Nggak, duluan aku dibelakang." kekehku
Adrian benar menyalakan motornya hingga sampai kerumahku, di rumah disambut dengan temen-temen sekampungku yang lagi nongkrong di depan rumah dan bermain uno. Ya, itu kebiasaanku kalau malam sama mereka sewaktu belum bekerja bahkan sampai saat ini masih menjadi kebiasaan kami didepan rumah kadang main gitar juga atau berbincang nggak jelas. Rumahku sudah terbiasa dengan tongkrogan anak-anak yang turun temurun dari generasi kakak pertamaku bersama sebayanya, teman-teman Bang Raden dan disusul generasiku sampai saat ini. Mungkin, kelak akan menjadi tongkrongan Vino dan cucu-cucu generasi penerus Mamaku. Hahaha, bisa jadi begitu.
"Asekk, yang ditunggu-tunggu ternyata pacaran dulu." seru Adam yang mendapati kepulanganku dengan Adrian
"Nggak, pacaran apaan." sangkalku dan masuk rumah
Adrian menyalami semua penghuni rumahku temasuk yang pada nongkrong diemperan rumahku
"Mas, calonnya, Mbak Arum, ya?" goda Tama
"Aku masih ponakannya, Mas." timpal Adhi
"Terus kalau masih ponakan Mbak Arum, lo mau apa, Adhiiii." sahut Dian
"Restu seorang adik itu menentukan, ya, Budeee." seru Adhi meminta bantuan pada Mamaku
"Jangan didengerin, Mas." imbuh Syifa
Adrian hanya mampu tersenyum-senyum tanpa kutik dan agak canggung dalam tongkrongan itu karena memang belum mengenal takut ada salah ucap atau apa, karena juga posisinya dia bertamu jadi harus jaga attitudenya dia.
"Nih, makan tuh. Bacoddd lu pada." Adhi melemparkan rambutan tepat dihadapan mereka
"Hasil ngrampok siapa ini, Dhi?" tanya Syifa
"Udah, makan aja, aman-aman. Halal, ya, Mas." sahut sambil nyengir ke Adrian
Adrian mengangguk.
"Ad, kok malah diluar. Terkontaminasi kaum-kaum uno lu ntar." sambungku yang baru keluar usai mandi
"Diluar aja ngadem sama mereka, hehe." balasnya
"Mandi aja kelamaan, Mbak." sahut Tama
"Suka-suka gue dong." ketusku
"Rum, Mbakmu tadi buat kue apa itu, makan sama temen-temen." Mama keluar dengan membawakan beberapa potong brownis coklat buatan Mbak Gita
"Makan nih." Aku menyodorkannya ke temen-temen tongkrongan
"Makasih, Budekuuu." seru Adhi
"Giliran makan aja gercep." tegur Adam
"Dari tadi kek, Mbak." ujar Adhi langsung merampas semua brownis itu
"Bagi-bagi, Cuk." seru Adam
Malam semakin larut, Adrian harus pamit takut kemalaman karena besok pagi-pagi harus segera berangkat pulang ke kampung halamannya Madiun oleh suatu urusan. "Thanks udah dianterin, Ad. Jangan lupa kabarin!" seruku dan ia berlalu mengemudikan motornya
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutip Istimewa Kenamaan Yogyakarta
RomanceAurum Sekar Widyasari, akrab dengan nama bawaan dari orangtuanya Arum. Siapapun itu panggilannya, Arum adalah seorang mahasiswi semester akhir di salah satu Universitas Negeri di Surakarta yang berbasis jarak jauh atau kelas karyawan. Pada semester...