Episode 11

1 0 0
                                    

Tatap Hangat Favorit ku

Kembali aku menemukan sosok redup dan hangat pada seorang Adrian. Bocah laki-laki itu sungguh menyogokku dengan segenap perilaku yang memukau. Terkesan berlebihan, namun, sungguh letak dewasa seseorang memang bukan dari usianya. Namun, lebih ke keadaan yang menjadikan semua orang harus dewasa dalam menyikapi sebuah kondisi. Semakin dewasa pembawaan sikap di penerapan kehidupan, semakin erat juga dewasa itu melekat di alam sadarnya. Ya, kadang muncul kanak-kanak manjanya. Tapi, bukankah itu manusiawi? Semua orang bisa menaklukan kelemahannya, namun tidak ada larangan untuk seorang anak laki-laki mendewasakan diri menangis, bukan? Sungguh, itu bukanlah kelemahan seorang laki-laki. Dan kini, kudapati seorang yang aku kenal tegar menangis dihadapanku untuk kedua kalinya entah piluh apa yang mengusik damai Adrian usai kepulangannya dari kampung halaman. Aku tidak ingin kepo soal kehidupannya lebih mendalam kecuali memang dia yang membeberkannya sendiri.

"Hei, are you okay?" tanyaku sambil celingukan memastikan keadaan kantin

"Ad, jangan disini. Ikut aku." Aku menariknya ketaman yang jauh dari kerumunan karyawan untuk membuat Adrian merasa sedikit baikan dengan menumpahkan semua kekecewaaan dan apapun itu lewat tangisnya. "Duduk, dan selesaikan tangismu." pintaku, dan menyediakan pundak untuknya. Aku sengaja menciptakan keheningan untuknya, agar dia tidak sungkan menumpahkan segala peluhnya disini. Mungkin aku tidak dapat tahu jelas luka apa yang mengganjal dibenaknya hingga bercucuran air mata sederas itu, paling tidak tangis ini akan membuat keadaannya merasa tenang.

"Mbak, boleh aku memelukmu?" tanyanya dengan menatapku penuh air mata, layaknya bocah laki-laki yang sedang kesakitan karena dinakali oleh teman sebayanya. Aku tidak bisa berucap apapun sekarang, mengangguk adalah solusinya. Dia lantas memelukku erat dan menangis sejadi-jadinya yang entahlah apa yang sedang melanda pikirannya, bahkan aku tak mampu mengajukan sebuah kata tanya padanya. Tak lama, isaknya mereda, peluknya melepas dari tubuhkku. Aku masih termenung seribu Bahasa dengan bekas pelukannya barusan. Ada degub yang tidak bisa aku kendalikan sekarang, ini apa wahai Tuhanku. Aku menghela napas dan menelan ludah untuk menetralkan keasaman zat yang kurang begitu jelas apa. Binar dimatanya bekas tangis itu masih berkaca-kaca, seketika dia menusap dan menyembunyikan wajahnya dari tatapku. Aku menangkap dia tengah malu bertindak seperti bocah dihadapanku. "Udah legaan?" tanyaku, dia hanya mengangguk dalam tunduk sembari mencoba merapikan isakannya yang masih tersisa. Aku menepuk pundaknya tanda menguatkan. Ia meraih tangan kananku lembut, dan mendongkakan kepalanya memberanikan diri menatapku. Adrian menukir senyuman untukku, yang apalagi arti dari semua ini aku semakin bingung. Ia meletakkan tangan kananku didadanya, terasa jelas degubnya tak karuan berdetak. "Apa yang kamu rasakan, Mbak?" tanyanya

"Debaran yang sangat kencang." polosku

"Itu yang aku rasakan saat bersamamu sepanjang hari, Mbak." ujarnya

"Aku mulai jatuh cinta pada wanita dewasa dihadapanku ini." gumamnya

"Adrian, jangan berkata konyol. Jangan-jangan kamu masih mabuk?" sangkalku

"Serius, aku jatuh cinta padamu, Mbak. Tapi mana mungkin seorang bocah laki-laki sepertiku berani lancang mencintai wanita dewasa seperti dirimu, Mbak." jelasnya. "Kamu ini nglantur, ayo pergi sholat dan kembali bekerja." Aku langsung berdiri dari tempat kita duduk. "Tunggu sebentar, Mbak. Masih lama bel masuknya, kangennya belum ilang." Ia merajuk padaku

"Ad, baru dua hari nggak ketemu udah kek setahun aja pake kangen segala." culasku

"Kalau nggak ketemu sama kamu setahun, mungkin aku sudah gila dalam merindukanmu, Mbak." ujarnya "Asli, kamu masih mabuk deh Ad." gedekku dan meninggalkannya sendirian di taman

"Aku nggak sedang mabuk, Mbak. Ini serius, kalau aku sayang kamu gimana?!" teriaknya

"Terserah!" cuekku dan terus berjalan kedepan

"Kelar jam kerja aku samperin kamu!" teriaknya

Seminggu berlalu, libur telah tiba, hore. Tapi nggak ada liburnya untuk seorang Arum di minggu ini, karena besok sabtu pagi-pagi banget harus ke kampus menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan bersama dosen pembimbing. Siangnya ada kegiatan pertemuan dengan teman kuliahnya sekaligus rekannya di tim penulis. Jadi, Arum ini adalah mahasiswi yang berbakat dalam dunia literasi apalagi dibidang menulis sebuah puisi. Ia sangatlah candu mengolah mengutarakan apa yang sudah ia lewati dengan puisi-puisinya bahkan sempat ia mengikuti sebuah challenge 45hari berpuisi oleh salah satu penerbit yang sudah besar Namanya di kota Solo dan ia berhasil menyelesaikan tantangan itu. Karyaya selama 45 hari, yang di post lewat akun instagramnya berhasil diterbitkan. Sebuah pencapaian luar biasa yang Arum torehkan di dunia yang memang dunia miliknya yang sesungguhnya. Makanya pas ditanya kenapa nggak milih jurusan kuliah yang satu passion dengannya waktu itu, malah justru memilih jurusan matematika yang memumetkan keadaannya saat ini. Ia memilih diam dan menghentikan penyesalannya dalam pemilihan jurusan, karena memang itu adalah pertanyaan yang menyulitkan keadaannya. Ia hanya percaya setiap keputusan yang berhasil ia selesaikan nantinya meski sempat salah memutuskan, akan tetap ada hasilnya. Setelah banyak drama yang terjadi yang membuatnya masuk dalam pesona jurusan matematika, berani memutuskan tetap harus berani menyelesaikannya.

"Selamat pagi, Mbak Arumku." Sapa Adrian diparkiran, seperti biasanya suasana hati milik seorang bernama Adrian Arkana Mahendra ini sangatlah sulit ditebak. Tiba-tiba nangislah, happylah, i do know how. Aku tidak begitu mengetahui sebenar-benarnya sikap yang ia punyai, memang sama yang baru dikenal dirinya nampak cuek bukan main. Tapi kalau sudah beberapa kali pertemuan dan sapaan membuatnya terlihat jelas betapa bobroknya. Aku menyadari, kita sama-sama rusak kalau berkolaborasi dengan kebobrokan yang kita miliki. Semua sifat kerandoman bisa-bisanya bersatu padu antara aku dengan Adrian. "Dibalas kali, malah dicuekin." Respon Adrian saat menyaksikan aku hanya berjalan dengan muka datar beriringan langkah kakinya menuju ruang kerja. "Karena jam masuk masih agak lama, kita duduk sejenak di bangku dekat loker, ya, Mbak." Ajaknya. Aku hanya diam tanpa menanggapi ajakannya itu. "Mbak, kenapa sih, kamu sakit? Lagi dapet apa gimana?" tanyanya. "Jangan menghubungkan diamku dengan seorang wanita yang sedang datang bulan, itu sama sekali tidak ada kaitannya!" ketusku. "Ya, kebanyakan, kan cewek gitu." Balasnya dengan memanyunkan bibirnya. "Apa sih, Ad. Nggak ada hubunganya mood cewek sama lagi dapet, ya." Ucapku dan meninggalkannya berjalan sendirian di lorong. 

Sekutip Istimewa Kenamaan YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang