Kian Tak Berjarak
Tak lupa, iya mengabari. Obrolan ku dengannya berlanjut ke via chat, tak berjarak sama sekali. Apapun aktifitasnya selalu dikabarkan padaku selama 2 hari di Madiun. Rasanya, perhatian-perhatian kecil. Termasuk mengabariku ketika ingin bersin saja membuat situasi kian nyaman saja. Dia sudah seleluasa itu menceritakan permasalahan dan lika-liku dikeluarganya padaku, ketakutanku muncul disini, perihal rasa yang akan semakin nyaman, perihal terbiasa akan sebuah kabar dan terbiasa untuk menjadi pendengar yang paling budiman untuknya dan akan menimbulkan rasa lebih antara aku dan dirinya. Membuatku terpicu untuk sama-sama ingin didengarkan dan berbagi alur cerita kehidupan. Namun, tidak banyak yang perlu aku umbar dengan Adrian. Aku memilih banyak menciptakan kata tanya padanya, agar rasa nyaman yang lambat laun menumpuk menjadi rasa ketergantunganku untuk terus berada disisinya ini tersamarkan. Supaya tidak akan ada yang rusak disebuah pertemanan ini karena terkikisnya rasa yang lainnya. Namun, tetap saja tidak bisa dipungkiri berminggu-minggu terlalui dengan penuh menghabiskan waktu disuntuknya jam-jam kerja bersamanya adalah poin tersendiri yang mengkisahkan ingatan mendalam dibenakku. Aku yakin, ini bukan soal jatuh cinta pada seorang bocah laki-laki yang berusia 4 tahun lebih muda dariku. Ini soal nyaman, dan kasih sayang dari Ayahku yang memang selalu kurang sejak aku masih kecil. Tidak pernah aku dibiarkan membagikan lukaku karena seisi dunia menjadikan aku badut, atau ketika seluruh dunia mengecamku pengecut dalam melakoni peran sebagai anak terakhir yang harus berhasil memboyong nama baik orangtuanya. Tentang, aku yang menjadi harapan terakhir Mamaku, yang harus benar-benar lebih sukses dari beliau dan kedua kakakku. Jujur, tidak pernah aku merasakan dekap hangat seorang Ayah sepenuhnya. Aku hanya dibiarkan memeluk lukaku sendiri menyembuhkannya hingga kering pulih dengan sendirinya pula. Apa adil disini? Apa masih layak Ayahku adalah cinta pertama terbaik yang tidak akan ada gantinya oleh cinta yang lain. Bahkan aku butuh sosok figure cinta pertama darinya, aku tidak pernah mendapati Ayah menjalankan perannya dengan saksama. Melakukan pekerjaan hingga aku terkesima akan kehebatannya, atau merasa bangga dengan Ayah yang seorang petani namun mampu memberikan dukungan moral dengan sangat sempurna bagi mentalku. Ini bukan persoalan bersyukur atau tidak bersyukur dengan pekerjaan beliau yang pergi kesawah sementara Mamaku bekerja sebagai Guru yang notabennya seorang PNS dan wanita karir. Bukan itu masalahnya, aku tidak mengungkit kesenjangan sosial disini. Namun, memang Ayahku selalu saja mengampangkan semuanya termasuk cita-citaku. Bagaimana bisa aku diberikan contoh dan gambaran soal masa depan yang gemilang? Belum pernah sama sekali, mematahkan semua ambisiku sering. Lewat semua ucapnya dan menyalahkan semua keputusanku. Sedangkan ini semua tidak akan baik untuk dikonsumsi jangka panjang terhadap mentalku. Siapa yang akan menenagkanku kala semua carut-marut di otakku berkerumun? Mamaku memiliki peran sendiri dalam membesarkanku. Beliau mengajarkan belas kasih, dan kelembutan. Mendidikku, untuk menjadi wanita hebat seperti beliau yang sanggup membesarkan ketiga anaknya dengan baik meskipun kadang karirnya membuat masa kecil kami kurang waktu untuk banyak berbincang dan berkomunikasi dengan baik.
Masih kurang kasih sayang dari cinta pertamaku, apa boleh buat, kakakku yang merasakan pengalaman lebih dulu di rendahkan cita-citanya lewat ucapan Ayahku sendiri dengan ego beliau yang temperamental. Membuat kedua kakakku ingin mengusahakanku untuk tidak merasakan pengalaman yang sama dan serupa seperti yang sudah keduanya enyam dengan matang sedari kecil. Kata mereka, mimpinya boleh terkubur rapat-rapat, asal mimpi seroang gadis kecil penuh ambisi bernama Arum tidak boleh mati begitu saja. Ia harus mendapatkan apa yang belum dia dapatkan temasuk cinta yang baik dari laki-laki yang akan menjadikannya ratu dikehidupan berumah tangga kelak. Itu yang selalu aku ingat, sampai menginjak usia 23 tahun ini.
Memang sekurang apapun kasih sayang dari Ayahku. Kedua kakakku tidak pernah memberikan kasih sayang yang cacat padaku, hanya terkadang cara masing-masing dari mereka berbeda penyampaiannya. Bang Raden yang usianya hanya berjarak 2 tahun denganku terkesan kasar dalam memberikan wejangan namun memang usia yang aku lalui harus dikerasi supaya tidak kebablasan dalam meredam emosi. Bang Putra caranya seperti Mamaku menuruti semua mauku, dengan catatan jangan sampai keputusanku membuat aku menyesal dengan sendirinya dan menyerah. Apa yang sudah diputuskan harus diselesaikan, meskipun memang caranya akan sedikit ganjil tetap rampungkan dengan sempurna, jika masih kau anggap sebuah gagal paling tidak gagalmu menjadikan pengalaman baru dari apa yang akan kamu putuskan setelah kejadian itu terjadi.
"Mbak, hari ini aku minta maaf." tulis Adrian lewat pesan chatnya
"Maaf untuk apa?" tanyaku
"Aku semalam minum." tulisnya begitu
"Minum?" tanyaku yang merasa pernyataan miliknya itu ambigu
"Iya, aku mabuk lagi sama temen-temen. Semalem ada acara, jadi diajak, ya, ikut aja gitu." ujarnya
"Acara kamu pulang hanya untuk itu?" tanyaku
"Nggak, memang untuk menemui Ibuk dan Aira sebenernya. Tapi, malemnya diajak mabuk sama temen-temen." jelasnya
"Ada masalah apa sebenernya?" tanyaku
"Nggak ada masalah apapun, suntuk aja, Mbak lagian." balasnya
"Ya udah, lain kali banyakin minumnya biar puyeng tuh kepala." balasku
"Kok gitu?" tanyanya balik
"Aku tanya, dapetnya apa dari minum-minum nggak jelas kayak gitu?" tanyaku
"Pusing." singkatnya
"Terus?" tanyaku
"Yang awalnya sehat malah jadi nggak sehat dibadan sih." ujarnya
"Ya udah, kalau gitu, mabuk aja terus biar makin nggak sehat. Dikasih badan sehat, malah nyari penyakit!" omelku lewat chat
"Hmm, bantu aku buat nggak kayak gini, ya, Mbak. ingetin terus." rengeknya
"Percuma! Kalau nggak dari kesadaranmu sendiri, terus pergaulanmu masih sebebas dulu nggak bisa kamu batasin, sekeras apapun aku ngingetin nggak aka nada gunanya, Ad." tulisku dalam pesan
"Ya, Adrian coba perbaiki ini semua. Tapi, Mbak janji, akan disisiku sampai kapanpun. Ajari aku berbenah, Mbak." pintanya
"Berbenahlah dari hatimu sendiri, pasti bisa!" balasku memberikan support untuknya
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutip Istimewa Kenamaan Yogyakarta
RomantikAurum Sekar Widyasari, akrab dengan nama bawaan dari orangtuanya Arum. Siapapun itu panggilannya, Arum adalah seorang mahasiswi semester akhir di salah satu Universitas Negeri di Surakarta yang berbasis jarak jauh atau kelas karyawan. Pada semester...