Episode 14

1 0 0
                                    


Cerita Masa Lalu

Aku menggelengkan kepala, "Huft! aku dan Enggar berakhir dengan baik, ya, karena keadaannya saja yang udah beda dan kita harus pisah. Mau selama apapun sebuah hubungan, mau dijaga sampai sekuat tenagapun kalau emang nggak bisa. Buat apa diteruskan, anggap aja belum jodohnya. Gitu aja sih, Ad. Mau kedua orangtuanya dan kedua orangtuaku udah nyaman, mencoba buat kita bisa balikan dan sama-sama kaya dulu lagi. Kalau emang dari kitanya udah nggak bisa, ya, udah jalan satu-satunya pamit. Mau gimana lagi, Ad. Bahkan aku juga tidak menganggap ini semua sebuah kesalahan, aku anggap Enggar adalah orang baik yang sengaja hadir mewarnai cerita dimasalaluku." Jelasku dan tersenyum menatap senja yang hampir berpamitan tersambut malam dari celah jendela ruanganku dirawat.

"Berapa lama Mbak Arum sama Enggar, pacaran?" tanyanya

"Kurang lebih 4 tahun, Ad." Balasku

"Satu kali lagi, Mbak. Mengikhlaskan seseorang yang udah 4 tahun sama-sama disegala situasi bahkan mungkin itu pacar pertamamu dan bakal jadi selamanya nggak tahunya putus ditahun ke 4, itu sulit atau nggak, Mbak?" tanyanya

"Mengikhlaskan itu tidak ada menurutku, Ad. Adanya kita mencoba merelakan, kalau udah merelakan biarlah waktu yang memulihkan semua keadaan yang pernah terkemas apik bersamanya jauh sebelum hari ini. Dan ikhlas akan menyesuaikan dimasing-masing keadaan kita." Ucapku sambil menatap kosong kearah jendela menembus langit yang kian gelap tak berbintang. "Mbak, udah rela?" tanyanya. "Satu hal, rela dan ikhlas sama-sama nggak mudah, Ad. Gimana mau merelakan kalau Papanya saja masih ingin aku menjadi menantu untuk putra satu-satunya dan kesayangannya." keluhku sedikit merintih. "Bisa saja, Enggar menghubungiku karena Papa atau Mamanya merindukanku. Beliau meminta Enggar untuk menjemput dan mengunjungi rumahnya, karena sudah 2bulan ini aku belum bisa menyempatkan diri untuk bersilaturahim kesana." Ujarku dengan tanpa sadar air mata menetes dikedua bola mataku. Aku memeluk erat kedua kakiku dan semakin terisak. Bukan menangisi perpisahanku dengan Enggar, kita sama-sama sadar akan perpisahan ini. Hanya saja, untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga dari orang yang pernah sangat aku cintai cukup lama. Ditambah, Enggar adalah orang pertama yang mengisi hatiku dan menerimaku seapaadanya aku sejak awal sungguh sangat menguncang kondisiku yang sedang hancur-hancurnya aku. Adrian perlahan beranjak dari bangku yang duduk disebelah ranjangku dan mendekapku untuk mencoba menenangkan isakan tangisku ini. 

Sekutip Istimewa Kenamaan YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang