Jatuh Sakit
Tak lama Ibu Ayu datang mengajak Adrian, agar segera mengantarkanku pulang karena memang hanya Adrian yang tahu rumahku saat ini. Ibu Ayu hanya paham kalau rumahku agak jauh dari tempatku bekerja, jadi memungkinkan Adrian dipulangkan lebih dulu supaya bisa mengantarkan aku pulang dan berobat di rumah nantinya.
"Nduk, kamu pulang, biar Adrian yang anter, ya. Jangan memikirkan pekerjaan, yang terpenting kondisimu saat ini." Tutur Ibu Ayu
"Hati-hati bawa motornya, Adrian. Kabarin Ibu kalau sudah sampai dirumah Arum." Imbuh Ibu Ayu
"Baik, Bu. Assalamualaikum." Pamit Adrian dan menggendongku hingga sampai diparkiran
Dipos satpam, Adrian menitipkan motorku pada pak satpam yang sedang berjaga dan memberikan surat izin meninggalkan pekerjaan sebelum jam kerja. "Duduk disini dulu, ya, Mbak. Aku ambil motor dulu." Ujarnya dan bergegas mengambil motornya. Ia memboyongku duduk di boncengan, memakaikan jaketku dan memelukkan erat kedua tanganku diperutnya. "Astaga, Mbak. Tubuhmu demam tinggi ini, sampai tembus ketubuhku. Bertahan, ya, Mbak kita langsung ke klinik terdekat supaya kamu langsung dapat penanganan." Gumamnya yang samar-samar aku dengar. Ia bertahan dengan menyetir satu tangan dan tanganya yang lain memegangi tanganku yang meligkar di tubuhnya dengan erat. Masih dengan kedua kaki mengapit helm milikku karena aku sudah tidak kuat lagi menopang beban seberat itu di kepalaku. Susah payah Adrian mengantarkanku mencari pertolongan, sekhawatir itu ia padaku. Sungguh aku berhutang budi padanya.
Aku dibawa ke RS Indriati, dokter mengatakan ini penyakit asam lambungku yang kambuh karena terlalu lelah, stress, kurang tidur yang cukup dan tidak makan dengan baik. Benar, semua yang dokter katakan memanglah benar. Aku tidak tidur dengan baik, malah lebih suka tidur pukul 2 pagi dan pukul setengah 6 pagi harus bergegas untuk bekerja. Mama memang paling tahu kondisi tubuhku dan semua-muanya tentang porsi tubuh yang aku punyai. Pekerjaan baruku menguras tenaga, waktu juga berat badanku secara drastis. Tidak jarang orang menyimpulkan bahwa aku mendapatkan tekanan batin karena melaju di dua arah dalam waktu sekali tangkap. Namun, bukan sakit yang aku harapkan, bukan pula menaklukan omong kosong para pecundang yang mempercundangiku dengan merendahkan nama kedua orangtuaku kala itu. Aku akan buktikan bahwa memang harapan terakhir Mama bernama Aurum Sekar Widyasari mampu dan sanggup menjadi kebanggaan keluarga. Bukan lagi yang manja, dan lemah kata mereka. Maaf, untuk yang kali ini aku sedang kewalahan, Ma. Ini menyulitkan laju sejenak aku ingin rehat di ranjang yang mahal ini dalam beberapa hari kedepan. Arum lelah, Ma. Tolong!
"Mbak, makan, ya, ada bubur ayam. Masih hangat." bujuk Adrian ketika aku bangun dengan tangan kiri terbalut dengan jarum penghubung cairan infus. "Maaf, merepotkanmu dalam banyak persoalan, Ad." Lirihku. "Jangan banyak meminta maaf dan menangis, makan dulu ini. Aku suapin." Ucapnya dan menyuapkan satu sendok bubur ayam hangat untukku. "Mbak, soal perasaanku yang kemarin jangan dipikirkan, ya. Anggap aja angin lalu yang keluar dari mulut seorang bocah." Ujarnya dan dengan sangat hati-hati menyuapkan bubur ayam untukku. Aku hanya tersenyum dan menatap raut wajahnya penuh binar. Tatapnya yang redup dan menghangatkan, cueknya penuh perhatian seperti Bang Raden. Manusia terdingin yang konyol dan bobrok, tingkahnya sungguh random. Hanya bersama Adrian aku mampu merasakan sebuah kebahagiaan tersendiri, yang membuatku ingin selalu berada terus berdekatan dengannya. Kalau boleh aku meminta, aku tidak ingin jatuh cinta padanya, aku hanya ma uterus bersahabat dengannya dan jangan sampai Tuhan membuat takdir kita berjauhan. Berproses dengan Adrian sangatlah menyenangkan, ada tualang baru yang ia taburkan setiap temunya. Ada goresan tinta yang penuh hal-hal hebat bersamanya.
"Ad, boleh tolong ambilkan ponselku?" pintaku
"Untuk apa?" tanyanya
"Menghubungi keluargaku, dan kamu bisa pulang untuk istirahat." Ujarku
"Aku sudah menelfon Kak Raden, dia akan segera kesini usai pulang kerja." Jelas Adrian
"Kamu tidak bilang orang rumah, kan, atau Mamaku?" tanyaku agak takut kalau sampai Mama mengkhawatirkanku sendirian dirumah
"Nggak, Mama belum dikabarin. Hanya Kak Raden yang aku kabarin, karena yangku punya hanya nomornya." Imbuh Adrian
"Terima kasih banyak, Ad. Maaf, atas apapun itu. Aku berhutang budi padamu." Sedikit terisak ucapku padanya
"Jangan cengeng deh, udah gede juga. Cukup gantikan dengan makan sate di Malioboro di sabtu malam bersamaku ketika udah sembuh nanti, boleh?" ajaknya
"Kamu tahu sate Malioboro kata siapa?" balasku dengan tersenyum ringan
"Ada deh." godanya
"Mau nggak?" tanyanya lagi
"Iya, tunggu aku sembuh dulu, ya." balasku
"Siap, Bu Lurah." Sahutnya girang dengan hormat pakai tangan kanannya padaku
"Itu, kata-kataku untuk Mamaku. Enak aja ikutan." balasku
"Minjem, bentar." Dia sambil nyengir
"Klinggg!" dering ponselku berbunyi membisingkan percakapan kita sore ini di rumah sakit Indriati
"Boleh minta tolong, Ad. Hehe." Pintaku merajuk
"Apa sih yang nggak buat Mbak Arum ini." Godanya lagi sambil meraihkan ponsel untukku
"Dari siapa?" tanyaku
"Enggar." Singkatnya seusai membaca nama yang berada dalam panggilan ponselku
Lambungku mendadak bergejolak lagi mendengar nama itu diucapkan oleh Adrian dan sedang berdering menunggu aku menganggkatnya.
"Matiin aja, Ad." Ketusku tanpa mau menyentuh ponsel yang Adrian sodorkan untukku
"Angkat, siapa tahu penting, Mbak." Pinta Adrian
"Kalau penting, pasti dia sudah menemuiku dirumah." Balasku
"Bener, nggak mau diangkat, Mbak?" tawar Adrian lagi
"Iya, silent aja hpku. Biarin." Balasku tanpa berpikir dua kali untuk menolak panggilan telefon dari Enggar
"Mbak, kalau boleh tahu barusan siapa?" tanya Adrian yang agak ragu-ragu bertanya
"Yang barusan telfon?" tanyaku
"Dia Enggar, hanya seseorang yang hadir menemaniku di masa lalu, Ad. Bukan siapa-siapa." Jelasku singkat
Dia hanya mengangguk namun masih seperti menyimpan kata tanya untukku.
"Apa, masih mau nanya apalagi daripada dipendem nanti bisulan mending ditanyakan, Ad." Tanyaku padanya
"Kalau boleh tahu kenapa kalian memilih berakhir?" tanyanya menatapku
"Karena kita memang tidak ditakdirkan berjodoh, Ad." Singkatku
"Tapi, kalian benar-benar sudah berakhir dengan baik, kan, Mbak tanpa konflik dari pihak ketiga atau apapun itu?" tanyanya lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutip Istimewa Kenamaan Yogyakarta
RomantizmAurum Sekar Widyasari, akrab dengan nama bawaan dari orangtuanya Arum. Siapapun itu panggilannya, Arum adalah seorang mahasiswi semester akhir di salah satu Universitas Negeri di Surakarta yang berbasis jarak jauh atau kelas karyawan. Pada semester...