Episode 8

1 0 0
                                    


Tiada Hari Tanpamu

Setiap hari adalah hari-hari bersama Adrian. Senin bersambut, tugas yang menumpuk turut bersambut, bersahut-sahutan dengan pekerjaanku di perusahaan. Untung aja ada besti aku, Adrian, yang kemanapun aku berada pasti ada bersamanya. Sudah seperti sepasang kekasih. Sampai-sampai leaderku Ibu Ayu dan segenap rekan kerja satu departemen mengira kita benar telah menjali hubungan yang serius. Padahal, penjajakan pertemanan saja. Kadang, memang yang terlihat belum tentu sebuah penjelasan dan penjelasan tidak bisa langsung terlihat dengan mata terbuka. Jadi, tidak akan baik jika hanya menyimpulkan apa yang baru terlihat saja. Semua ada alasan, sebab dan akibatnya tentu saja. Empat jam kerjaku dihari pertama minggu ini tersudahi, tanpa aku meminta untuk dijemput Adrian ke ruangan kerjaku. Ia sudah lebih dulu menaburkan sebuah senyuman didepan pintu, mengajakku makan siang sama-sama dan aku sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Begitu terus, hingga tak terasa aku dan Adrian sudah menapakkan kaki di pekerjaan yang melelahkan dan kadang menyenangkan pas gajian doang sih hahaha. Terhitung dihari ini, 4 bulan bekerja di Perusahaan Genta Tama tenyata tidak terasa sama sekali kalau aku menikmatinya dengan baik. Kita berdua berhasil melepas masa training, give big aplouse to me and Adrian. Luar biasa, hehe. Mengikuti alur, dan berusaha sebaik mungkin dalam bekerja dan belajar dalam satu periode waktu. Walaupun, kurang tidur, kurang makan, kurang kasih sayang hiyaaa, yang terakhir nggak ding.

"Mbak, nanti sepulang kerja, nggak ke kampus?" tanya Adrian menatapku. Aku hanya menggelengkan kepala tanda tidak ada jadwal apapun seusai pekerjaan berakhir. "Ayo, makan. Aku yang bayarin." ajaknya riang.

"Mentang-mentang habis gajian, gaya." ledekku

"Iyalah." Dia penuh percaya diri

"Nanti jatah buat beli rokok berkurang, mending nyetok dari sekarang mumpung tanggal muda." ledekku lagi

Ia menggeleng

"Kenapa?" tanyaku

"Semenjak mengenal Mbak Arum, aku jadi belajar banyak termasuk harus mengurangi konsumsi nikotin ditubuhku. Biar Mbak nyaman deket-deket sama aku, ygy." balasnya

"Prettt!" decakku

"Hmm, mau makan bareng nggak?" tawarnya lagi

"Dimana?" tanyaku

"Tempatnya kamu yang tentuin, cari yang tengah-tengah aja. Biar pulangmu agak deketan nggak terlalu malem." Jawabnya. "Ok."

Kita makan di tempat makan yang hype banget di Kota Solo Baru yang nggak pernah ada kata sepi dari antrian dan kerumunan para Gojek mengantrikan pesanan pelanggan. Apalagi kalau bukan Gacoan, aku sih nggak terlalu begitu suka dengan menu pedasnya yang berlevel-level tapi tempat ini selalu menjadi tempatku menghabiskan waktu pertemuan bersama teman-teman SMAku karena tempatnya yang nyaman aja untuk sekedar makan siang dan sharing-sharing atau main uno berlima dengan sahabatku, Lala, Widhi, Nila, dan Ghea. Namun, malam ini beda, makannya sama Adrian dulu sama gengs berlimanya besok kalau sudah pada pulkam karena kami sudah tepisah dengan kehidupan masing-masing. Ghea di Bali dan bekerja di Rumah Sakit besar sejak lulus dari D3 sejak 2 tahun silam. Sedangkan Lala dan Widhi ikut ke Bandung bersama orangtuanya, dan bekerja di sana. Kalau Nila masih di kampung sama kayak aku, dia gab years juga tapi kuliahnya di Malang jadi bertatap pun kita berdua sudah tidak terlalu sering. Sesering dulu.

"Mbak, sering ke sini?" anggukku membenarkan kata tanyanya. "Dikurangin makan mienya, Mbak. Udah di pabrik jarang makan. Sekali makan mie, beruntung nggak suka makanan pedes. Mungkin masih dalam level sedikit aman sama lambungmu." ujarnya. "Nggak papa, semua akan baik-baik saja." singkatku sambil menikmati mie angel yang kata temanku hanya berasa mie dengan sekumpulan minyak saja. Ya, karena kesukaanku disini hanya mie angel, yang tidak berasa pedas sama sekali.

Dia terus menatapku, memperhatikan aku makan, tanpa sebuah omongan apapun. "Cantik" ucapnya membuatku menghentikan mengunyah mie yang terlajur masuk didalam mulutku dan melototinya. "Kok berhenti?" tanyanya. Seketika aku menelan paksa mie yang belum sempurna terkunyah. Adrian menyodorkan minum untukku. "Apa yang kau katakan barusan?" tanyaku. "Nggak-nggak ada." sangkalnya

"Ok, baiklah." Suasana makan kita berdua menjadi sangat hening. Dia tanpa ucap apapun hanya terus memperhatikan aku menghabiskan mie dihadapanku. "Apaan sih, Ad. Jangan memperhatikan orang pas lagi makan, nggak sopan." tegurku yang sedikit risi dengan tatapannya yang kali ini

"Abis, kalau makan kamu lucu." godanya

"Apanya yang lucu, cemong semua ada." ketusku

"Tuh, kan belpotan kalau makan." dengan cekatan Adrian menyodorkan tisu untukku

"Pelan-pelan kalau makan, Mbak." dengan tlaten ia mengelap bibirku yang blepotan minyak karena makanku yang memang berantakan seperti anak kecil umur 5 tahun haha.

Tatapan kita berada pada satu penjuru, dititik temu ini debaran jantung berdegub mengalun melodi merdu. Firasat apa ini? Aku anggap ini hanya sebuah kagum terhadap Adrian akan sikapnya padaku. Tidak lebih.

"Aku bisa menyelesaikannya sendiri." Memecahkan canggung yang ada, aku raih tisu dari tangan Adrian dan membersihkan bibirku sendiri agar janggal di jiwaku tidak bergejolak kian padu lebih dari ini. Pandangan Adrian buyar, dan melarikan diri dari pertemuan titik temu empat buah bola mata dari pusat sumbunya itu.

"Mbak, besok aku mau pulkam ke Madiun. Ikut nggak?" ajaknya melerai kikuk yang ada

"Bukannya minggu lalu kamu baru aja pulkam, Ad?" tanyaku

"Iya." Angguknya

"Mau pulang lagi?" tanyaku

"Iya, adek kangen katanya. Ada acara juga minggu ini sama temen-temen." jelas Adrian

"Oh, salamin adikmu, ya. Kamu juga hati-hati pas pulang." balasku

"Nggak mau ikut? Nanti tak kenalin ke Ibuk." tawarnya. "Nggaklah, siapa aku pake dikenalin ke Ibumu." tolakku. "Ya, nggak papa dong. Apa salahnya dikenalin." Sahutnya

"Malah diangkat jadi mantu sama Ibumu, gawat, Ad." sangkalku

"Ya, malah nggak papa. Biar langsung nikah kita. Hahaha." jawabnya ringan dengan candaan

"Nikah sama bocil, haha, kerja dulu yang bener." ledekku. "Emang kamu nggak mau, nikah sama aku, Mbak?" obrolannya mulai serius padaku

"Maksutnya?" aku kelabakan dengan kata tanyanya barusan

"Nikah sama aku, mau nggak?" tanyanya lagi

"Nggak usah aneh-aneh deh, Ad. Emangnya nikah semudah itu? Mendingan fokus kerja, kejar masa depan dulu, bahagiain Mama dan masih banyak hal yang perlu lo lakuin didunia ini selain nikah muda. ygy" imbuhku mencoba mengajak keobrolan lain

"Itu bisa dilaluin bareng-bareng, sama kamu, Mbak." entengnya

"Aduh, udah malem. Ayo balik." sangkalku dan beranjak dari meja tempat kita makan

"Aku anterin pulang, ya." Tawarnya

"Nggak kemaleman?" tanyaku

"Nggak, tenang aja." balasnya santai

Aku hanya mengiyakan saja apa maunya. 

Sekutip Istimewa Kenamaan YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang