1. The Shining Star of the Family

125 20 10
                                    

“Sudah selesai, Fay?”

Sebuah pertanyaan meluncur di telinga seorang gadis yang tersembunyi di balik hijab cokelatnya. Gerakan tangan milik perempuan muda tersebut pun otomatis terhenti. “Eh, Umi,” jawabnya dengan senyuman yang merekah sempurna. Ia berbalik menghadap sang ibu yang terbiasa dipanggilnya dengan sebutan ummi.

Alhamdulillah, udah selesai semua. Kotak nasi, minuman, sama set tasbih udah Faye masukin ke dalam totebag. Tinggal diangkut dan dibawa ke pesantren aja, Mi,” tambahnya.

Najwa, ibu Faye, hanya mengulum senyum setelah mendengar jawaban tersebut. Beliau tampak bangga dengan putri bungsunya yang selalu berhasil menuntaskan tugas tepat waktu. Tidak, bahkan jauh dari waktu yang ditentukan. Buktinya, kini tatanan buah tangan yang Faye urus sudah teratasi dengan baik, bukan? Padahal waktu penjemputan masih tiga jam lagi. Benar-benar hebat.

“Ya sudah, kalau gitu sekarang kamu istirahat dulu. Tapi ingat, sebelum pukul lima sore, kita sudah harus berangkat ke pesantren, lho, ya. Jangan terlambat bersiap-siapnya nanti,” peringat Najwa kepada Faye, yang dibalasi dengan anggukan paham.

“Siap, Ummi. Perintah dilaksanakan.”

Selepas kepergian sang ibu, gadis bernama lengkap Lafayetta Yumna Shihab itu pun ikut meninggalkan area ruang tengah menuju kamar. Sebenarnya ia ingin beristirahat terlebih dulu seperti titah ummi. Akan tetapi, saat Faye baru saja memejamkan mata, mendadak ia teringat pada PR bahasa Inggris dan biologi yang harus dikumpulkan esok hari.

“Kerjain sekarang aja, deh. Daripada nanti malam malah enggak sempat,” cicitnya pelan. Kemudian, Faye beringsut meninggalkan kasur empuknya menuju meja belajar. Menyelesaikan dua tugas rumah secepat yang ia bisa.

Satu setengah jam kemudian, dua PR yang membutuhkan jawaban panjang milik Faye sudah berhasil diselesaikan. Faye lega, setidaknya jika acara nanti malam berakhir hingga larut, ia tidak akan lagi merasa khawatir karena tugasnya belum aman. Dan kini, sisa waktu yang ada ia manfaatkan untuk merebahkan diri sebentar, kemudian bersiap-siap menuju pesantren yang terletak tiga puluh menit dari rumahnya.

Ah, iya. Mungkin sedikit terasa asing bagi beberapa orang, jika mendengar keluarga kiai ternama tidak tinggal di satu kawasan yang sama dengan pesantren miliknya. Namun nyatanya, KH. Arifin Mahfud—ayah Faye—memilih jalan tersebut.

Tidak ada alasan khusus bagi pria bertubuh subur dengan cambang agak lebat yang menghiasi wajah itu, untuk tinggal di tempat yang terpisah dari pondok pesantren miliknya. Hanya saja bagi beliau, memiliki reputasi yang sangat baik dan disegani oleh banyak orang karena ilmu agama yang luar biasa, bukan berarti keluarga kecilnya juga harus menutup diri dari dunia luar. Mereka tetap perlu merasakan yang namanya tata hidup bermasyarakat, dan tidak selalu terkungkung di sekitaran ponpes saja. Setidaknya itu pendapat pribadi beliau, karena alasan lain yang menguatkan tekad adalah perjalanan pergi dari rumah dan pulang dari ponpes yang dirasa cukup menyenangkan jua.

"Alhamdulillah. Semuanya berjalan lancar. Terima kasih, untuk seluruh panitia yang sudah bekerja keras dalam menyiapkan pengajian malam ini," ucap Kiai Mahfud selepas acara.

Para pengurus yang terdiri dari beberapa santri lawas pun menanggapinya beragam. Ada yang menjawab dengan sopan, mengangguk, bahkan ada juga yang tertawa kecil karena merasa tersanjung atas ucapan sang kiai.

Akan tetapi, pandangan dari pemimpin ponpes Syarif Hidayatullah tersebut mendadak teralih ke sisi kanan, di mana terdapat putri satu-satunya terpantau sedang asyik membantu beberapa santri perempuan untuk membersihkan aula seusai pengajian digelar. Beliau menggelengkan kepala singkat.

"Masya Allah, sungguh luar biasa putriku itu. Bisa-bisanya dia tidak merasakan lelah padahal dari sebelum acara dimulai, dia sudah sibuk wara-wiri membantu menyiapkan segalanya. Maha Besar Allah yang menitipkan gadis mulia itu sebagai anakku," puji Kiai Mahfud penuh haru.

MADELEINESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang