12. Library Brunch

13 4 0
                                    

Selasa ini, Faye sudah cukup kelimpungan akibat beberapa kesibukan. Pagi hari, Faye sudah mengawalinya dengan bangun terlambat, sementara ada jadwal kelas yang dimulai pukul sembilan. Ia bergegas mandi dan bersiap-siap, tanpa sempat membereskan tempat tidur, bahkan ia juga skip sarapan.

Di kampus, tanpa diduga Sir Marcus mengadakan kuis dadakan. Faye yang belum selesai membaca soft file materi pun kelabakan. Ada beberapa nomor yang ia tidak bisa jawab dengan penuh keyakinan. Hanya bermodal cap cip cup dan berharap semoga jawabannya tidak salah.

Lalu setelahnya, Faye juga sibuk dengan presentasinya di kelas database system. Dosen yang memegang kuasa menjelaskan banyak hal—yang lagi-lagi materinya belum selesai Faye baca. Untungnya, mata kuliah yang satu ini tidak sesulit discrete mathematics, algorithm and programming, atau bahkan kalkulus. Jadi, Faye masih bisa mengejar ketertinggalan materi yang harusnya sudah ia pelajari di hari-hari sebelumnya.

Siangnya, Faye tidak sempat sarapan dengan layak lantaran kantin yang ramai, ditambah ia sedang tidak berselera untuk pergi makan di luar lingkungan kampus. Jadinya, ia hanya menenggak susu yang ia beli di vending machine yang terletak tidak jauh dari are kantin. Setelah ini, ia akan menyambangi tempat bersemedi kesayangannya, perpustakaan. Ia perlu menyelesaikan tugas dari kelas database yang tinggal sedikit lagi menuju garis akhir, lalu membaca jurnal maksimal dari dua mata kuliah yang besok harinya akan ia hadapi. Supaya hal yang memalukan seperti tadi tidak terjadi lagi.

Ketika Faye tengah bergelut dengan laptopnya secara anggun, Tiba-tiba sisi kanan dari mejanya diketuk sebanyak tiga kali. Ia melepas earphone yang melekat di telinga, dan mendongak.

Dan objek yang ditangkapnya kini adalah fitur tinggi tegap milik Albany Ray Antasena yang berdiri persis di belakangnya, lengkap dengan tangan terisi penuh oleh sebuket paket makanan take away.

"For you, vanilla latte with oat milk," ujar pemuda yang berusia setahun lebih tua dari Faye tersebut, seraya menyodorkan gelas foam berisi minuman yang sudah disebut. Akibat intensitas komunikasi yang cukup rutin, tanpa sadar Ray jadi hapal kebiasaan Faye yang entah mengapa, sejak pindah ke negeri putih ini lebih menyukai minuman hangat serta mengganti susu full cream dengan oat milk di setiap menu latte yang dipesan.

"Makasih, Mas Ray. Nanti Faye ganti—"

"—ssshtt," sela Fay cepat. Kepalanya turut tergerak pelan ke kiri dan kanan. Menggemaskan. Eh, astaghfirullah, Fay, jaga mata!

"Enggak usah mikir bakal ganti uangnya karena ini nggak pakai sistem split bill, Fay. Aku aja yang pesannya kebanyakan," timpal Ray kemudian.

Faye terkekeh. Cara beralasan teman seperjuangannya di tanah perantauan tersebut selalu begitu. Unik. Faye menyimpulkan, Ray terbiasa melontarkan kalimat seolah-olah dia yang salah tindakan seperti itu, agar tidak membuat lawan bicaranya menjadi segan. Setidaknya itu yang Faye rasakan setiap Ray mengelak. Rasa sungkan yang meratapi hatinya bisa berangsur padam dan digantikan perasaan suka.

"Lagi ngerjain apa?" tanya Ray membuyarkan lamunan singkat Faye. Gadis itu lantas menggeleng pelan. "Enggak, Mas. Cuma lagi baca materi buat besok aja nih, sama bikin rangkuman biar enggak mudah lupa sama poin-poin yang udah Fay baca," jawab Faye lugas.

Ray mengangguk saja. Kemudian jemari kokohnya segera membuka satu kota berukuran cukup besar yang berisi lima belas gulungan mini kebab, setumpuk French fries, empat cup kecil berisi saus dan acar. Ada juga empat kaleng minuman soda yang Ray keluarkan dari dalam kantong, yang spontan membuat Faye mengerutkan kening.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MADELEINESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang